Minggu, 12 Februari 2023

 Filsafat, Ilmu dan Komunikasi


A. Filsafat

Filsafat termasuk ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, oleh karena itu titik tolak untuk memahami dan mengerti filsafat adalah rneninjau dari segi etimologi. Tinjauan secara etimologik adalah membahas sesuatu istilah atau kata dari segi asal usul kata itu.

Secara Etimologi, istilah filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata fajuah (Arab), philoso. philoshopy (Inggris), philosophia (Latin), philosopie {Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yuanani philein berarti `mencintai', sedangkan philos berarti `teman'. Selanjutnya istilah shopos berarti “bijaksana”, sedangkan sophia berarti `kebijaksanaan'.

Ada dua arti secara etimologik dan filsafat yang sedikit berbeda, Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan sophos, maka artinya mencintai hal-­hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagaiu kata benda).

Menurut sejarah, Pythagoras (571-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosopbia. Ketika beliau ditanya apakah ia sebagai orang yang bijaksana, maka Pythagoras dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai philosopos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Banyak sumber yang menegaskan bahwa sophia mengandung arti yang lebih luas dari pada kebijaksanaan. Artinya ada berbagai macam, antara lain: 1) kerajinan, 2) kebenaran pertama, 3) pengetahuan yang luas, 4) kebajikan intelektual, 5) pertimbangan yang sehat, 6) kecerdikan dalam memutuskan hal-hal praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excelence). 

a). Filsafat sebagai Suatu Sikap

Filsafat adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta. Bila seseorang dalam keadaan krisis atau menghadapi problem yang sutit, maka kepadanya dapat diajukan pertanyaan bagaimana Anda menanggapi keadaan semacam itu? Bentuk pertanyaan semacam itu membutuhkan jawaban secara kefilsafatan. Problem-­problem tersebut ditinjau secara luas, tenang, dan mendalam. Tanggapan semacam itu menumbuhkan sikap ketenangan, keseimbangan pribadi, mengendalikan diri, dan tidak emosional Sikap dewasa secara filsafat adalah sikap menyelidiki secara kritis, terbuka, toleran dan selalu bersedia meninjau suatu problem dari semua sudut pandangan. 

b). Filsafat sebagai Suatu Metode

Filsafat sebagai metode artinya sebagai cara berpikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti. Filsafat berusaha untuk memikirkan seluruh pengalaman manusia secara mendalam dan jelas. Metode berpikir semacam ini bersifat inklusif (mencakup secara luas) dan synoptic (secara garis besar), oleh karena itu berbeda dengan metode pemikiran yang yang dilakukan oleh ilmu-ilmu khusus. 

c). Filsafat sebagai Kelompok Persoalan

Banyak persoalan abadi (perennial-povblems) yang dihadapi manusia dan para filsuf berusaha memikirkan dan menjawabnya. Beberapa pertanyaan yang diajukan pada masa lampau telah dijawab secara memauskan. Misalnya pertanyaan tentang ide-ide bawaan (inneat idea) telah dijawab oleh John Loke pada abad ke-17. Namun masih banyak pertanyaan lain yang dijawab sementara. Di samping itu juga masih banyak problem-problem yang jawabannya masih diperdebatkan atau pun diseminarkan sampai hari ini, bahkan ada yang belum terpecahkan.

Pertanyaan kefilsafatan misalnya; apakah kebenaran itu? Apakah perbedaan antara benar dan salah? Mengapa manusia ada di dunia? Apakah segala sesuatu yang ada di dunia ini terjadi secara kebetulan ataukah merupakan peristiwa yang sudah pasti? .Apakah manusia mempunyai kehendak bebas untuk menentukan nasibnya sendiri ataukah sudah ditentukan oleh Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak mudah untuk dijawab, sebab akan, menimbulkan pertanyan susulan terus­ menerus. Setiap fiisuf memiliki wewenang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengajukan argumentasi yang logis dan rasional. 

d). Filsafat sebagai Sekelompok Teori atau Sistem Pemikiran

Sejarah filsafat ditandai dengan pemunculan teori-teori atau sistem-sistem pemikiran yang terlekat pada nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Spinoza, Hegel, Karl Marx, August Compte, dan lain-lainnya. Teori atau sistem pemikiran filsafat itu dimunculkan oleh masing-masing filsuf untuk menjawab masalah-masalah seperti yang telah dikemukakan di atas. Besarnya kadar subjektivita.s seorang filsuf dalan? menjawab masalah-masalah itu menjadikan kita sulit untuk menentukan teori atau sistem pemikiran yang baku dalam filsafat. 

e). Filsafat sebagai Analisa Logis tentang Bahasa dan Penjelasan Makna Istilah

Kebanyakan filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Para filsuf analitika sepert; G.E.Moore, B.RusseIl, L.wittgeinstein; G.Ryle, J.L..Austin dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan ayang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Merekla berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para filsuf, Yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide.

Dalam kaitannya dengan i1mu, maka filsafat mempelajari arti-arti dan menentukan hubungan-hubungan diantara konsep-konsep dasar yang dipakai setiap ilmu. Misalnya, dalam ilmu komunikasi adalah substansi pesan. Dalam menghadapi konsep-konsep dasar tersebut ada perbedaan tinjauan antara ahli ilmu-ilmu khusus dengan ahli filsafat. 

f). Filsafat merupakan Usaha untuk Memperoleh Pandangan yang Menyeluruh

Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten. Para filsuf berhasrat meninjau kehidupan tidak dengan sudut pandangan yang khusus sebagaimana dilakukan oleh seorang ilmuwan. Para filsuf memakai pandangan yang menyeluruh terhadap kehidupan sebagai suatu totalitas. Menurut para ahli filsafat spekulatif (yang dibedakan dengan filsafat kritis), dengan tokohnya C.D.Broad, tujuan filsafat adalah mengambil alih hasil-hasil pengalaman manusia dalam bidang keagamaaan, etika, dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil-hasil tersebut direnungkan secara menveluruh.

Dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh bebrapa kesimpulan umum tentang sifat-sifat dasar alam semesta, kedudukan manusia di dalamnya serta pandangan­-pandangan ke dapan: Usaha filsafati semacarn ini sebagai reaksi terhadap masa lampau dimana filsafat hanya terarah pada analisis bidang khusus. Usaha yang hanya mementingkan sebagian dari pengetahuan atau usaha yang hanua menitikberatkan pada sebagian kecil dari pengalaman manusia Para filsuf seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas; Hegel, Bergson, John Dewey; dan A.N.Whitehead termasuk filsuf yang berusaha untuk memperoleh pandangan tentang hal-hal secara komprehensif. 

1.   Objek Material dan Objek Formal Filsafat

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu. Kumpulan pengatahuan untuk dapat disebut ilmu hanya memilki syarat-syarat tertentu. Syarat-syart yang dimaksudkan adalah objek materiil dan objek formal.

Objek materiil adalah sesuatu yang ha1 yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu hal yang diselidiki dan dipeIajari. Objek materiil mencakup apa saja, baik hal-hal konkrit (misalnya manusia, tumbuhan, batu) ataupun hal-hal yang abstrak (misalnya: ide-ide, nilai-nilai, keagamaan). Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materiilnva serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. 

2.  Hubungan  Ilmu dengan Filsafat

Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi, filsafat sj;umlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah.

Setiap ilmu memiliki konsep-konsep dan asumsi-asumsi yang yang bagi, ilmu itu sendiri tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep dari ilmu itu diterima dengan begitu saja tanpa dinilai dari dikritik. Namun filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep­. Konsep dasar dan memeriksa asumsi-asum si dari iimu-ilmu untuk memperoleh arti dan validitasnya. Kalau konsep-konsep dari ilmu tidak dijelaskan dan asumsi-asumsi tidak dikuatkan maka hasil-hasil yang dicapai ilmu tersebut tanpa memperoleh landasan yang kuat.

Interaksi antara filsafat dan ilmu-ilmu khusus juga menyangkut suatu tujuan yang lebih jauh dari flsafat. Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang terpadukan, komprehensif dan konsisten. Secara komprehensif artinya tidak ada sesuatu bidang yang berada diluar jangkauan flsafat. Secara konsisten artinya uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi. 

3.  Persoalan Filsafat

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Misalnya gempa bumi, banjir, melihat laut yang sangat luas. Orang yang heran berarti ia merasa tidak tahu, atau dia menghadapi persoalan. Persoalan inilah yang ingin diperoleh jawabannya oleh para filsuf. Darimana jawaban itu dapat diperoleh? Jawaban diperoleh dengan melakukan refleksi, yaitu berpikir tentang fikirannya sendiri. Dalam hal ini tidak semua persoalan itu musti persoalan filsafat tetapi juga non-filsafat. Ciri-ciri persoalan filsafat adalah sebagai berikut:

a)      Bersifat sangat umum.

b)     Tidak menyangkut fakta

c)      Bersangkutan dengan nilai-nilai baik nilai moral, estetis, agama dan sosial.

d)     Bersifat kritis, artinya filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep­konsep dan arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis.

e)      Bersifat sinoptik, artinya persaalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.

f)       Bersifat implikatif, artinya kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Tawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh kepentingan-kepentingan manusia.

4.  Berfikir Secara Kefilsafatan

Berfilsafat adalah berpikir. Ini tidak berarti berpikir adala,h berfilsafat. Berfilsafat itu berpikir dengan ciri-ciri tertentu:

a)      Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan radikal.

b)     Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan universal umum.

c)      Berpikir kefilsafatan dicirikan secara konseptual.

d)     Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara kohoren dan konsisten.

e)      Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik.

f)       Berpikir secara kefilsahtan dicirikan secara komprehensif

g)     Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas

h)     Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan bertanggung jawab.

5.  Gabang-Gabang Filsafat

Ada tiga jenis persoalan filsafat yang utama yaitu persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang pengetahuan, dan persoalan tentang nilai-nilai.

a)      Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi. Persoalan keberadaan atau eksistensi bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika.

b)     Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran. Pengetahuan ditinjau dari segi isinya bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi. Sedangkan kebenaran ditinjau dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika.

c)      Persoalan nilai-nilai (rules). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, nilai-nilai kebaikan tingkah laku dan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai kebaikan tingkah laku bersangkutan dengan cabang filsafat etika. Nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika.


a.  Metafisika

Filsafat pertama ini mengurai tentang sesuatu yang ada dibelakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimatete nature) dan  kenyataan atau kebenaran.

Persoaian-persoalan metafisis dibedakan menjadi tiga yaitu peroalan ontoiogi, persoalan kosmologi, dan persoalan antropologi.

1)   Persoalan ontologis antara lain; apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu? Bagaimanakah penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi? Apa sifat dasar kenyataan atau keberadaan;).

2)   Persoalan kosmologis (alam). Persoalan kasmologis bertalian dengan asal-mula, perkembangan dan struktur atau susunan alam. Mislanya, jenis keturunan apa yang ada dalam alam? Keteraturan dalam alam seperti halnya sebuah mesin ataukah keteraturan yang bertujuan? Apa hakikat hubungan sebab dan akibat? Apakah ruang dan waktu itu?.

3)   Personal antropologi (manusia). Bagaimana terjadi hubungan badan dan jiwa? Apa yangh dimaksud dengan kesadaran manusia sebagai makhluk bebas atau tak bebas?,


 b.  b. Epistemologi

Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal­mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah "apakah ada itu?", sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah "apa yang dapat saya ketahui?".

Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:

a)      Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?

b)     Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh?

c)      Bagaimanakan validitas pengetahuan itu dapat dinilai?

d)     Apa perbedaan antara pengetahuan apriori (pengetahuan berpengalaman) dengan pengetahuan aposteriori (pengetahuan puma pengalaman).


 c.  Logika

Logika sebagai cabang filsafat bersangkutan dengan kegiatan berpikir. Logika dapat didefinisikan sebagai ilmu, kecakapan atau alat untuk berpikir secara lurus. Dengan demikian yang menjadi objek material logika adalah pemikiran, sedangkan objek formalnya adalah kelurusan berpikir.

Persoalan-persoalan logika adalah:

a)      Apa yang dimaksud dengan pengertian (concep)?

b)     Apa yang dimaksud dengan putusan (proposition)?

c)      Apa yang dimaksud dengan penyimpulan (inference)?

d)     Apa aturan-aturan untuk dapat menyimpulkan secara lurus?

e)      Apa macam-maram silogisme?

f)       Apa macam-macam sesat fikir ( fallary)?

 

d.  Etika

Etika sebagai cabang filsafat juga disebut sebagai filsafat moral. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas.  Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dan tingkah laku tersebut, Dengan demikian perbuatan  yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas dapat dikenai penilaian bermoral atau fidak bermoral. Persoalan-persoalan dalam etika diantaranya adalah:

a)      Apa yang dimaksud "baik" atau: buruk" secara moral?

b)     Apa syarat-syarat sesuatu perbuatan dikatakan baik secara moral?

c)      Bagaimanakah hubungan antara kebebasan kehendak dengan perbuatan susila?

d)     Bagaimanakah peranan hati nurani dalam setiap perbuatan manusia?

e)      Bagaimanakah pertimbangan moral berbeda dari dan bergantung pada suatu pertimbangan yang bukan moral?

 

e.  Estetika

Estetika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan. Kalau etika digambarkan sebagai teori tentang baik dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Baik etika maupun estetika keduanya betalian dengan nilai-nilai. Etika bertalian dengan nilai-nilai moral, sedangkan estetika bertalian dengan nilai bukan moral.

Persoalan-persoalan estetis diantaranya sebagai berikut:

a)      Apakah keindahan itu?

b)     Keindahan bersifat objektif ataukah subjektif?

c)      Apa yang merupakan ukuran keindahan?

d)     A pa peranan keindahan dalam kehidupan manusia?

e)      Bagaimanakah hubungan keindahan dengan kebenaran?

 

f.  Aliran-Aliran Filsafat

      1. Aliran-aliran dalam Persoalan Keberadaan

Persoalan keberadaan menimbulkan tiga segi pandangan yaitu;

Pertama, keberadaan dipandang dari segi jumlah, banyak (kuantitas) artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Segi masalah kuantitas ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya.

1)      Monisme

Aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui. Tokoh-tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM) yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu substansi, yaitu air. Anaximander (610-547 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah Apeiron, yaitu sesuatu yang tanpa batas, tak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia  Anaximenes (585-528) berkeyakinan bahwa yang merupakan unsur kenyataan yang sedalam-dalamnya adalah udara. Filsuf modern yang termasuk penganut Monisme adalah Baruchz Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (Naturan.s Narurara).

 

2)      Dualisme

Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah Plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia yaitu dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide). Descartes (1596-1650) yang membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan. Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1727-1844) yang membedakan antara dunia gejala (penomena) dan dunia hakiki (neomena).

 

3)      PluraIisme (serba banyak)

Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme diantaranya: Empedokles (490-430 SM) yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu: udara, air, api dan tanah. Anaxagoris (500-428 SM) yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya itu dikuasai olch suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikatakannya bahwa nous adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur. Liebniz (1646-1716) menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari monade-monade yang tidak terhingga banyaknya. Monade adalah substansi yang tidak berluas, selalu bergerak, tidak terbagi, dan tidak dapat rusak. Setiap monade saling berhubungan dalam suatu sistem yang sebelumnya telah diselaraskan Harmonia Prestabilia. Pandangan filsafat kontemporer yang memihak pada pluralisme adalah pascamodernisme (postmodernisme) dengan tokoh-tokohnya antara lain; Mitchel Foucoult, J.J Derrida dan J.F. Lyotard.

Kedua, keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan beberapa aliran sebagai berikut:

1)      Spiritualisme, yang mengandung beberapa arti.

  1. Spiritualisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nous, Reason, Logos) yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spritualisme semacam ini dilawankan dengan materialisme.
  2. Spiritualisme kadang-kadang kenakan pada pandangan idealistik yang menyatakan adanya roh mutlak. Dunia indera dalam pengeratian ini dipandang sebagai dunia idea.
  3. Spiritualisme dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari roh suci dalam bidang agama.
  4. Spiritualisme berarti kepercayaan bahwa roh-roh orang mati berkomunikasi dengan orang yang masih hidup melalui orang-orang tertentu yang menjadi perantara dan lewat bentuk wujud yang lain.

Aliran spiritualisme juga disebut idealisme (serba cita). Tokoh-tokoh aliran ini diantaranya adalah sebagai berikut. Plato (430-348 SM) dengan ajarannya tentang idea (cita) dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran asli segala benda. Semua yang ada dalam dunia hanyalah merupakan penjelmaan atau bayangan saja. Ide (cita) tidak dapat ditangkap dengan indera (dicerap), tetapi dapat dipikirkan. Sedangkan yang ditangkap oleh indera manusia hanyalah dunia baying-bayang. Liebniz (1646-1718) dengan teorinya tentang monade. Monade adalah sesuatu yang bersahaja, sederhana, tidak menempati ruang, tidak terbentuk. Sifatnya yang terutama adalah bergerak, menanggap dan berpikir. Setiap monade bersifat otonom mutlak.

2)      Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsure-unsur fisik. Materi adalah sesuatu hal yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk, menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih dan rasa senang, tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Tokoh-tokohnya antara lain.

Demokritos (460-370 SM) berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan. Atom-atom ini memiliki sifat yang sama, perbedaannya hanya tentang besar, bentuk dan letaknya. Jiwa pun menurut Demokritos dikatakan terjadi dari atom-atom, hanya saja atom-atom jiwa itu lebih kecil, bulat dan amat mudah bergerak. Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari materi. Termasuk juga disini pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka. Karena segala sesuatu terjadi dari benda-benda kecil, maka bagi Hobbes, filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari benda-benda.

Ketiga, keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan. Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini diantaranya adalah sebagai berikut.

1)      Mekanisme (serba mesin) menyatakan bahwa semua gejala (peristiwa) dapat dijelaskan berdasarkan asas-asas mekanik (mesin). Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei (1564-1641) dan filsuf lainnya dalam abad 17 sebagai filsafat mekanik.

2)      Teleologi (serba tujuan) berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semua memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.

3)      Vitalisme memandang bahwa keindahan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisik-kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti Hans Adolf Eduart Driesch (1867-1940) menjelaskan bahwa setiap organisme memiliki etelechy. Henry Bergson (1859-1941) menyebutnya élan vital.   

4)      Organisme aliran ini biasanya dilawankan dengan mekanisme dan vitalisme. Menurut organisme, hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya system yang teratur.

 

2. Aliran-aliran dalam Persoalan Pengetahuan

Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan, dijawab oleh aliran-aliran berikut ini.

1)      Rasionalisme, berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal. Akal memperoleh bahan lewat indera kemudian diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan. Rene Descartes membedakan tiga idea yang ada dalam manusia yaitu innate ideas, adventius ideas dan factitious ideas.

2)      Empirisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indera. Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuan berupa pengalaman terdiri dari penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam-macam.

3)      Realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Objek-objek tersebut tidak tergantung adanya pada yang mengetahui, yang mencerap atau tidak bergantung pada pikiran.

4)      Kritisisme, adalah aliran yang berusaha menjawab persoalan pengetahuan dengan tokohnya Immanuel Kant. Titik tolak Kant adalah waktu dan ruang sebagai dua bentuk pengamatan. Akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (dari indera sebagai empiri extern dan dari pengalaman sebagai empiri intern).

Sementara itu persoaln pengetahuan yang menekankan pada hakikat pengetahuan, dijawab oleh aliran-aliran seperti idelaisme (pengetahuan adalah proses-proses mental ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subjektif), empirisme (hakikat pengetahuan adalah berupa pengalaman), positivisme (kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi), dan pragmatisme (menanyakan apa guna pengetahuan).


B. KOMUNIKASI

Istilah Komunikasi ada yang menyebut berasal dari kata communicare yang berarti menyampaikan.Pandangan ini sejalan dengan komunikasi dengan kata common yang berarti kesamaan. Jadi komunikasi berkaitan dengan penyampaian sesuatu dalam rangka mendapatkan kesamaan makna.

Namun penting pula melihat komunikasi kaitannya dengan istilah community. Dalam pengertian ini juga bias dilihat kesamaan berkaitan dengan pembentukan komunitas. Jadi tidak dalam kesamaan pemahaman, tapi keguyupan masyarakat yang berhasil diintegrasikan.

Bagaimana kita mengartikan apa yang dimaksud komunikasi itu? Secara kosa kata ada beberapa sebutan seperti communicare, common, communism, community. Masing-masing memberi penekanan dari sisi tertentu. Ada yang berorientasi pada kontrol, pengendalian, dan sebagainya. Pada sisi lain ada yang menekankan pada kesamaan, pendekatan yang humanistik. Berikut penjelasannya.

Defenisi merupakan sebuah konsep. Selanjutnya defenisi merupakan bagian dari unsur teori. Bila kita menyimak  salah satu pengertian teori sebagai hubungan antar konsep, defenisi, preposisi yang menjelaskan tentang sesuatu. (Kerlinger). Bila kita kaitkan dengan logika (penalaran) maka defenisi merupakan sebuah konsep. Bagian awal dari proses berfikir. Secara harafiah, defenisi diartikan sebagai batasan. Ada beberapa defenisi yaitu defenisi konsep yang merujuk pada penjelasan. Satunya lagi defenisi operasional, untuk mengukur konsep tersebut kedalam realitas empiris.  Dengan demikian, defenisi merupakan langkah awal dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu komunikasi, kita akan mengenali dengan mulai dari defenisi komunikasi itu.

 

1. Definisi Komunikasi

Secara etimologis, perkataan komunikasi berasal dari bahasa Latin “communicare” yang mempunyai arti berpartisipasi atau memberitahukan. Perkataan “communis” berarti milik bersama atau “berlaku di mana-mana”. 

Sedangkan untuk pengertian secara definitif, dapat kita kemukakan beberapa pendapat para sarjana, di antaranya Carl I.Hoveland seorang ahli Ilmu Jiwa pada Yale University , yang menyatakan sebagai berikut: “Communication is the process by which an individual transmit stimuly (usually verbal syimbols) to modify the behavior of another individuals” (Sumarno, 1989:7).

Dalam definisi ini tampak bahwa komunikasi itu sebagai suatu proses menstimulasi dari seorang individu terhadap individu lain dengan menggunakan lambang-lambang yang berarti, berupa lambang kata untuk mengubah tingkah laku.

Lebih sederhana lagi batasan yang diberikan oleh Warren Weaver, sebagaimana dikutip Sumarno (1989:7) yang menyatakan sebagai berikut: ”Communication is all of the procedure by which one mind can effect another” (Komunikasi adalah semua prosedur dengan mana pemikiran seseorang dapat mempengaruhi yang lainnya).

Komunikasi sebagaimana didefinisikan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver, merupakan penyampaian informasi, ide, perasaan (emosi), keahlian, dan sebagainya, melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, bentuk, grafik, dan sebagainya (dalam D.Lawrence dan W.Schramm, 1987:55).

Komunikasi merupakan aktivitas yang amat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan makhluk di dunia, terutama manusia. Karenanya, tidak salah apabila dikatakan bahwa sejarah komunikasi sama tuanya dengan sejarah umat manusia dan akan terus ada sampai akhir masa. Begitu pentingnya komunikasi bagi manusia, sehingga ada yang menyatakan bahwa tanpa komunikasi kehidupan manusia tidak akan punya arti atau bahkan manusia tidak akan dapat bertahan lama.

Harold Laswell (1972) dalam karyanya The Structure and Function of Communication in Society, dengan model komunikasinya, memberikan pengertian komunikasi dalam pernyataan: “who says to whom in what channel with what effect”. Komunikasi sebagai suatu proses penyampaian pesan dari komunikator yang ditujukan kepada komunikan melalui media atau saluran yang menimbulkan efek tertentu.

Sedangkan Simpson dan Weiner mendefinisikan, komunikasi sebagai penanaman (imparting), penyampaian (conveying), atau penukaran (exchange) ide-ide, pengetahuan, maupun informasi baik melalui pembicaraan, tulisan, maupun tanda-tanda (Goldhaber, 1990:15).

Dalam kata pengantar buku mereka yang berjudul Effective Communication for Today’s Manager, James Robbins dan Barbara Jones (1982: terj.vii), menyatakan:

Semua organisasi, tidak peduli bagaimana bentuk dan tujuannya, ditopang, disatukan, dan melaksanakan fungsinya melalui proses komunikasi. Komunikasi adalah saluran untuk melakukan dan menerima pengaruh, mekanisme perubahan, alat untuk mendorong dan mempertinggi motivasi serta pranata dan sarana yang memungkinkan suatu organisasi mencapai tujuannya. Tanpa komunikasi takkan ada interaksi antarpersonal, tak ada kelompok, tak ada pemerintahan bahkan tak ada suatu masyarakat seperti dewasa ini. Tanpa komunikasi, kekacauanlah yang merajalela.

Astrid S. Susanto (1983:37) menyatakan bahwa proses komunikasi banyak disebut-sebut sebagai asal-muasal dari hampir semua permasalahan dalam organisasi atau badan usaha serta manajemen, tetapi pada umumnya kurang dipahami. Sebaliknya cukup disadari bahwa komunikasi yang efektif merupakan dasar utama untuk mencapai tujuan organisasi, walaupun komunikasi tetap merupakan masalah besar bagi organisasi.

Komunikasi memiliki definisi yang banyak. Ada yang menekankan pada adanya tujuan (intention) tapi ada pula yang tidak. Dalam littlejohn dibedakan tiga model dalam memahami apa yang dimaksud komunikasi—dengan penekanan masing-masing. Apa yang disebut sebagai sender model, receiver model, dan sender-receiver model.

Selanjutnya bagaimana mendefenisikan komunikasi dengan sudut pandang lain ? ada tiga cara kita mendefenisikan apa itu komunikasi yakni receiver model, sender model, dan behavior sender receiver model.

Pada receiver model. Bila suatu teks, yang tidak disengaja, ditangkap oleh individu. Terjadi proses pembentukan makna pada diri seseorang ; maka dikatakan sudah terjadi proses komunikasi. Misalkan seseorang memberi makna terhadap seseorang yang tidak sengaja menguap didekatnya sementara dia sedang berbicara. Dia merasa apa yang dibicarakannya membosankan bagi orang itu. Jadi, sekalipun faktanya orang yang menguap itu tidak memiliki maksud apapun dengan menguap didepan orang yang sedang berbicara itu.

Sender model. Misalkan seseorang menyampaikan pesan, secara sengaja, tapi tidak ditangkap atau dimaknai orang lain. Jadi disini pembentukkan makna hanya terjadi pada diri pembuat pesan. Contohnya, seseorang melambaikan tangan kepada temannya yang kelihatan dari jauh, tapi temannya itu sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Maka disini sudah berlangsung proses komunikasi.

Sender – Receiver Behavioral Model. Seseorang menyampaikan pesan dengan sengaja, apakah non verbal maupun verbal ; kemudian ditangkap orang lain, apakah sekilas ataukah secara penuh. Inilah model komunikasi yang paling sempurna.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menjumpai gradasi perilaku komunikasi. Disini kita dapat melihat beraneka ragam fenomena komunikasi dalam kehidupan manusia. 

Intinya adalah komunikasi ada yang terjadi pada komunikator ketika membuat pesan secara sadar. Dalam hal lain, terjadi pada diri komunikan dalam meresepsi pesan secara sadar. Atau kedua unsur komunikator membuat dan menyampaikan pesan secara sadar dan komunikan meresepsi secara sadar pula.

Tampaklah bahwa komunikasi merupakan aktivitas sadar dilakukan manusia. Berkaitan dengan proses psikologis dalam diri manusia baik pada komunikator maupun komunikan. Komunikasi juga fenomena sosiologis ketika terjadi proses interaksi social.

Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi didekati dari sejumlah sudut keilmuan. Inilah yang mencirikan ilmu komunikasi itu bersifat interdisipliner. Bidang ilmu lain yang penting bagi fondasi ilmu komunikasi adalah politik, linguistik, antropologi, dan sebagainya.

Pada sisi lain, adakalanya terdapat suatu gerak atau perilaku tidak sengaja, dan diberi makna oleh orang lain (Receiver Model). Maka ini juga sudah berlangsung komunikasi karena sudah berlangsung proses pembentukan makna. Hal ini mengingatkan pada model meaning diatas.

Demikian pula ketika seseorang secara sadar menyampaikan suatu pesan namun tidak dimakna orang lain, juga menunjukkan sudah berlangsung komunikasi. Karena komunikator sudah menghasilkan makna.

Maka dari uraian diatas dapat disimpulkan adanya tiga model untuk membatasi tindakan manusia yang dapat digolongkan sebagai komunikasi. Kita juga melihat betapa dalam realitas kehidupan terdapat sejumlah kondisi yang menunjukkan komunikasi. Baik pada tingkat receiver, sender, atau sender-receiver.

Tampaklah disini bagaimana komunikasi diartikan dalam sejumlah dimensi. Ini menjadi penting sebagai dasar untuk mengartikan apa yang disebut sebagai komunikasi. Ada banyak cara dalam memandang apa itu komunikasi.

Maka cara kita mendefenisikan istilah komunikasi dapat melalui sejumlah sudut pandang. Pada satu sisi menekankan pada level observasi. Apakah pada kalangan individu, kelompok, masyarakat, internasional, dan sebagainya. Juga  pada sisi tingkat kesengajaan suatu tindakan penyampaian pesan. Bahwa yang disebut komunikasi ada yang menekankan harus disengaja dari seseorang kepada pihak lain ; sementara pandangan lain menekankan bahwa suatu tindakan yang tidak disengajapun bila telah menghasilkan makna pada orang lain itu sudah berlangsung komunikasi. Defenisi lain akan melihat komunikasi itu berkaitan dengan tingkat penerimaan pesan. Apakah pesan itu berhasil sampai pada sasaran ataukah tidak ditangkap.

Cara kita memandang apa itu hakekat komunikasi setidaknya dapat melalui cara pandang tentang makna komunikasi antara transmisi dan meaning. Cara berfikir semacam ini sangat fundamental dalam mereka memahami makna komunikasi. Sehingga dengan begitu mereka dapat menghubungkan dengan berbagai realitas komunikasi. Sehingga kemudian mereka dapat mengkaitkan dengan model-model komunikasi. Misalkan model Shannon Weaver itu berkaitan dengan komunikasi sebagai transmisi. Demikian pula model lain seperti stimulus respon, Berlo, dan sebagainya. Sedangkan model meaning dapat dijumpai dalam pesan non verbal, atau juga dalam cultural studies.

Tentang cultural studies juga merupakan sesuatu yang menarik bagi mereka. Tentang tema-tema kontemporer pada masyarakat urban seperti lifestyle, identitas, masyarakat konsumsi, dan sebagainya.

Kita dapat melihat interaksi antara kehidupan sosial dan teori-teori akademis. Pada 1940-an, ahli teori peduli dengan pemamahaman upaya (obedience), kesepakatan (conformity), dan prasangka. Topik-topik  yang  kuat (salient)  pada masa setelah  Perang Dunia. Ilmuwan pada 1940-an tidak mempelajari HIV dan bentuk-bentuk komunikasi yang mempromosikan  seks yang aman, juga  karena HIV tidak ada atau karena tidak diidentifikasi pada masa  itu. Baik ilmuwan ilmu eksask maupun ilmuwan ilmu-ilmu sosial  pada 1990-an  melakukan pengkajian dampak strategi komunikasi yang berbeda  pada keinginan  pasangan untuk mempraktekan seks aman (Bowen & Michal-Johnson, 1995,1996).

Sebagian besar teori tentang komunikasi dalam relasionsip pribadi didasarkan pada relasionsip  romantis dari usia sekolah, orang Eropa Amerika, kelas menengah, able-bodied heterosexuals yang tinggal berdekatan satu sama lain. Hanya belakangan  berkembang kesadaran tentang keanekaragaman budaya mendorong para sarjana untuk mempelajari dan mengembangkan teori-teori tentang komitmen gay dan lesbian (Huston &Schwartz, 1996), relasionsip diantara anggota budaya minoritas (Gaines, 1995), pernikahan permanen diantara individu dewasa, relasionsip dilakukan melewati sistim komunikasi elektronik  (Lea &  Spears, 1995), dan relasionsip jarak jauh (Rohlfing, 1995).

Contoh lain tentang  pengaruh budaya pada pembangunan teori adalah penekanan pada  individualitas yang menandai sebagian besar teori komunikasi Barat. Pada sejumlah masyarakat, seperti Asia, nilai-nilai kolektif atau komunal merupakan dihargai  lebih dari pada individualisme. Jadi  teori-teori  Timur melihat  unit kehidupan yang paling kecil sebagai kolektiv, tidak pada orang individu. (Wenzhong & Grove, 1991). Interdependen  merupakan isu praktis dan teoritikal yang lebih penting dari pada independen (Chang & Holt, 1991). Selanjutnya, ideologi dominan dalam budaya kolektif menekankan harmoni, konformity pada kelompok, kerendahhatian (humility), dan perbedaan yang kontras pada budaya individualis yang menekankan pada  pernyataan (assertion), kepercayaan diri, otonomi, dan konflik (Berg&Jaya, 1993; Klopf, 1991).

 

2. Sejarah Perkembangan Ilmu Komunikasi

Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang tergolong muda. Sekalipun pada sisi yang lain, sejarah perkembangan ilmu komunikasi sudah tua sejak masa Yunani dan baru dirumuskan dalam era modern sebagai ilmu  baru sejak dekade PD II.

Dewasa ini penelitian-penelitian komunikasi terus menerus dilakukan. Sejumlah jurnal ilmiah dalam bidang komunikasi terbit. Sejumlah karya ilmiah telah menjadi karya klasik dalam ilmu komunikasi seperti The People Choice, The Passing of Traditional Society, Mass Media and National Development, Personal Influence, Understanding Media, The Process and Effect of Communication, Public Opinion, dan sebagainya.

Demikian pula sejumlah figurnya seperti Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard Berelson, Carl Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon, McComb, George G. Gebner, dan sebagainya telah dikenal sebagai tokoh-tokoh dalam kajian ilmu komunikasi.

Sedangkan di Indonesia terdapat sejumlah figur penting dalam bidang Ilmu Komunikasi seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi Muis, Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N. Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya. Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi di Indonesia.

Ilmu Komunikasi merupakan fenomena Amerika, bila kita lihat dari penggunaan sebutan Ilmu Komunikasi. Perhatikanlah, di Indonesia pada awalnya lebih dikenal pendidikan Publisistik. Istilah yang menandakan meneruskan tradisi Jerman. Namun sejak dekade 70-an mulai digunakan istilah Ilmu Komunikasi dimana pendidikan jurnalistik hanyalah salah satu bidang yang  terutama masuk dalam kelompok komunikasi massa.

Jejak tradisi Amerika dalam kajian ilmu komunikasi di Indonesia dapat dilihat melalui figur M. Alwi Dahlan yang berkesempatan belajar langsung pada para perintis kajian Ilmu Komunikasi seperti Wilbur Schramm, Elihu Katz, Gregory Bateson, dan sebagainya. M. Alwi Dahlan, doktor komunikasi pertama Indonesia ini, pada tahun 60-an sudah lulus dan berkiprah di Indonesia. Upaya M. Alwi Dahlan mengenalkan Ilmu Komunikasi tampak baik melalui Fisip UI maupun lembaga seperti penerbitan atau riset serta kantor pemerintahan. Tentu saja juga melalui organisasi seperti ISKI, Perhumas, dan terakhir menjadi Menpen. 

Kenyataannya dalam pendidikan tinggi komunikasi di Indonesia, dominasi kiblat tradisi Amerika dari kalangan administratif riset menonjol. Studi Ronny Adhikarya telah menunjukkan hal ini. Kecenderungan ini rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga umumnya di Asia Tenggara, dan juga di benua lain.

Ilmu Komunikasi berawal dari dekade 40-an ketika Amerika menghadapi propaganda dalam rangka menghadapi peperangan. Beberapa prakondisi ketika itu adalah adanya ancaman Nazi dalam memperluas kekuasaannya, kebutuhan untuk mendapat dukungan rakyat dalam rangka menghadapi perang dunia kedua, dan  kebutuhan mempelajari propaganda lawan seperti Jerman. Maka dalam konteks inilah kajian komunikasi dirintis. Kemudian setelah masa perang, tradisi ini kemudian dilanjutkan bagi kepentingan dunia komersial.

Sejumlah ilmuwan yang dikumpulkan pemerintah—dalam hal ini departemen pertahanan—berkumpul dalam rangka kepentingan menghadapi peperangan. Beberapa figur tersebut, yang kemudian dilembagakan Scramm menjadi ilmu komunikasi, seperti Paul F. Lasarfeld, Hovland, Lasswell, Berelson, Shannon, Scramm, dan sebagainya. Setelah PD II, kajian komunikasi yang muncul dalam konteks perhatian yang besar terhadap propaganda dilanjutkan bagi kepentingan dunia industri.

Generasi yang melahirkan Ilmu Komunikasi ini yang kelak dikenal sebagai kelompok administrative riset cenderung mengembangkan komunikasi sebagai fenomena transmisi, yakni pengiriman informasi. Tidak heran pula, kajian komunikasi dominan sebagai kajian komunikasi massa. Dalam konteks inilah kita mengenal sejumlah model komunikasi seperti Shannon, Lasswell, Scramm, SMCR dan sebagainya.

Demikian pula penelitian komunikasi identik dengan kajian tentang media. Seperti Content Analysis, Uses & Gratification, Agenda Setting, Cultivation Analysis, survey dampak media, dan sebagainya. Model penelitian ini sudah familiar dalam kajian komunikasi. Namun sekali lagi menunjukkan dominannya kajian komunikasi massa.

Dewasa ini kita memerlukan untuk memahami tentang pentingnya memperhatikan kajian komunikasi yang lebih komprehensif. Bahwa komunikasi massa hanyalah salah satu bidang kajian dalam Ilmu Komunikasi. Padahal disebutkan bahwa awal abad 20 kajian lebih banyak tentang fenomena retorika. Sementara tahun 70-an mulai muncul kajian tentang komunikasi antar personal. Bidang-bidang seperti ini kelihatan belum begitu berkembang di Indonesia.

Satu hal penting pula yang perlu dipaparkan bahwa terjadi pergeseran penting dalam pandangan mengenai komunikasi di Amerika. Yakni pada awalnya, pemahaman tentang komunikasi berangkat dari pandangan yang humanistik sebagaimana dikembangkan kelompok Chicago. Tapi dengan munculnya kelompok administrative riset di masa propaganda tahun 40-an, terjadi perubahan cara pandang terhadap makna komunikasi. Dalam konteks ini dapat dimengerti kemudian pandangan filosofis tentang komunikasi mengalami pergeseran. Walaupun kemudian, menurut Everret M. Rogers, dewasa ini model komunikasi sebagai pemaknaan (meaning) juga mulai mendapat tempat kembali. Pendekatan yang lebih interpretatif yang kembali merujuk pada Max Weber, dan semacamnya.

Untuk itu perlu pula untuk memperhatikan tentang pandangan dalam memahami makna komunikasi. James W. Carey menyebut komunikasi bisa dilihat dalam dua cara pandang. Pertama model transmisi dan kedua model meaning atau ritual. Model kedua belum banyak diungkap. Hal ini dapat dimengerti karena terjadi fenomena di mana sejak kehadiran model komunikasi model Shannon yang linier telah menjadi mainstream dalam memahami makna komunikasi. Padahal sebelumnya, akar kajian komunikasi di Amerika sangat humanistik atau dalam hal ini berada dalam model  meaning. Hal inilah yang terjadi.

Satu hal yang menarik bahwa  dua model komunikasi diatas tidak lepas dari perkembangan peradaban Barat. Misalkan model transmisi dapat ditarik pada perkembangan peradaban di Barat ketika muncul modernisasi. Ketika terjadi aufklarung, rasionalitas manusia berkembang. Dalam masa ini ditandai arti penting transportasi seperti penjelajahan samudera atau dalam konteks Amerika dibangunnya jalan raya atau rel kereta api yang mampu menghubungkan daerah-daerah baru. Maka dalam konteks ini terjadi pemindahan barang dan orang serta tentunya ide-ide. Sehingga pendatang, yang kemudian mendatangi daerah-daerah baru, kemudian terjadi eksplorasi dan seterusnya. Dalam konteks semacam ini model transmisi dalam komunikasi berkaitan dengan pemindahan informasi di mana kontrol komunikator menjadi penting. Dengan pandangan kritis, dapat kita katakan model transmisi telah ditandai dengan eksploitasi, penguasaan, dan semacamnya.

Berbeda dengan model meaning, yang mencoba untuk melihat komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun komunitas (maintain community). Sebuah kolektifitas yang akur, hangat, dan semacamnya. Kehidupan kelompok yang hangat dan akrab. Model ini dikembangkan dalam generasi Chicago, sebuah masyarakat perkotaan yang di awal abad 20, di mana dalam keanekaragaman hendak mencoba untuk membangun dan memelihara komunitas. Maka komunikasi dikaitkan dengan upaya untuk memelihara nilai-nilai ini. Maka dalam cara pandang ini berkaitan dengan upaya untuk memelihara yang telah ada. Komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun integrasi.

Menjadi penting untuk disadari bahwa dewasa ini kembali perhatian muncul terhadap pendekatan budaya (cultural studies) ini. Dengan demikian, fenomena cultural studies dalam kontek tradisi pragmatis Amerika dapat dipahami dalam konteks ini. Seorang tokohnya, James W. Carey, dalam tulisan-tulisannya mencoba membahas cultural studies dalam kaitannya dengan tradisi pragmatis dari Chicago ini.

Upaya untuk menoleh kembali pada cara pandang mengenai komunikasi sebagai fenomena pemaknaan (meaning) tampaknya ketika terjadi kejenuhan terhadap dominasi dari tradisi kajian komunikasi dari generasi administratif riset yang telah mendominasi selama beberapa dekade.

3. Perkembangan Kajian Komunikasi

Julia Wood mengamati perkembangan kajian komunikasi dalam perkembangan trend berikut ini. Bahwa terdapat relasi antara perkembangan dalam kehidupan sosial dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada dekade 40-an, perhatian ilmuwan banyak mengenai upaya memahami obedience, conformity, dan prejudice. Tema-tema ini yang berkembang setelah PD II. Pada masa itu belum ada masalah seperti HIV sebagaimana sekarang. Demikian pula, pada decade 90-an terdapat perhatian terhadap soal komunikasi berkaitan dengan soal seksualitas (Bowen & Michal Johnson, 1995, 1996).

Dulu perhatian juga lebih banyak mengenai hubungan antar pribadi seputar hubungan romantis dikalangan remaja sekolah, kalangan menengah Eropa Amerika, able bodied heterosexuals bagi yang tinggal berdekatan. Belakangan ini berkembang kesadaran mengenai pluralisme budaya yang memotivasi ilmuwan meneliti dan mengembangkan teori mengenai kalangan gay dan lesbian ((Huston &Schwartz, 1996), relasi antar individu dikalangan orang dewasa (Dickson, 1995), relasi dikalangan anggota budaya minoritas(Gaines, 1995), pernikahan permanen diantara individu dewasa, relasionsip dilakukan melewati sistim komunikasi elektronik  (Lea &  Spears, 1995), dan relasionsip jarak jauh (Rohlfing, 1995)

Contoh lain mengenai pengaruh budaya pada pengembangan ilmu pengetahuan adalah penekanan pada individu pada sebagian besar teori komunikasi Barat (Western). Pada masyarakat lain seperti Asia, nilai-nilai kolektif atau komunal lebih dihargai. Jadi teori-teori dari Timur (Oriental) melihat bagian terkecil pada kolektifitas. Dan tidak pada individu. (Wenzhong & Grove, 1991). Perhatian mengenai hubungan yang saling bergantung (interdependent) lebih penting daripada independent (Chang & Holt, 1991). Selanjutnya, ideologi dominan dalam budaya kolektif menekankan harmoni, konformity pada kelompok, kerendahhatian (humility), dan perbedaan yang kontras pada budaya individualis yang menekankan pada  pernyataan (assertion), kepercayaan diri, otonomi, dan konflik (Berg&Jaya, 1993; Klopf, 1991).

Bertentangan dengan teori-teori komunikasi Barat yang menekankan pada perhatian utama pada pemunculan diri (self disclosure), ahli teori Timur telah menunjukkan sedikit  minat pada penunjukkan (revelations) pribadi dan menunjukkan emosi, yang menunjukkan kemarahan (frowned upon) pada banyak masyarakat Timur (Ishii&Bruneau, 1991; Johnson & Nakanishi, 1993; Ting—Toomey, 1991).  Hal ini menunjukkan dimana perhatian dan ideologi budaya  membentuk sifat teori  pada momen yang  telah ada dalam kehidupan suatu masyarakat. (Wood, 359-360).

Bagaimana dengan perkembangan kajian komunikasi di Indonesia ? Mengamati beberapa penelitian penting : Rusdi Muhtar   tentang dampak menonton televisi di Sulawesi Selatan, Wilbur Schramm, Gon Cu, Alfian tentang dampak satelit palapa di Indonesia, Marwah Daud Ibrahim tentang satelit  palapa, Harsono Suwardi tentang peran suratkabar dalam komunikasi politik,  Ibnu Hamad tentang wacana  politik,  Ishadi tentang televisi, Prof  achmad tentang pers Indonesia, Bahtiar Aly tentang pers Indonesia, M. Alwi Dahlan tentang komunikasi politik, Efendi Ghazali meneliti tentang komunikasi politik di Indonesia periode pasca orde baru dan sebagainya. Disini juga menjadi penting untuk diperhatikan, bagaimana akar tradisi Eropa sudah lama di Indonesia dalam kaitannya dengan kajian komunikasi.

Selain itu terdapat   pula sejumlah kajian yang tidak dihasilkan ahli komunikasi, tapi sangat penting bagi kajian komunikasi. Smith tentang sejarah  pembreidelan pers di Indonesia, Ahmad Adam dari Malaysia tentang pers pergerakan di Indonesia, Tickell tentang pers di Indonesia, David T. Hill tentang Mohtar Lubis dan Pers Indonesia. Philip Kitley tentang fenomena dunia televisi swasta yang muncul di Indonesia diakhir 1990-an. Krisna Sen tentang film Indonesia.

Bila diawal, kajian komunikasi di Indonesia ditandai tentang kajian jurnalistik. Kini dalam perkembangan, bidang komunikasi meluas. Jurnalistik hanyalah salah satu bidang kajian. Terdapat bidang  humas,   periklanan, kajian tentang televisi, radio, kehadiran media-media baru seperti  internet, dan sebagainya. Pada sisi lain tampak misalkan belum ada penelitian humas yang  sampai menjadi pembicaraan di Indonesia. Juga kita kekurangn ahli kajian periklanan, radio, dan sebagainya. Inilah lahan yang perlu untuk dipertimbangkan para sarjana komunikasi.

Mengamati kecenderungan, kajian lulusan komunikasi umumnya dominant dalam bidang komunikasi massa. Demikian pula pakar komunikasi dapat dilihat umumnya sebagai pakar komunikasi massa. Masih sedikit yang muncul atau mendalami bidang lain seperti komunikasi organisasi, kajian public relations, komunikasi antar budaya, dan sebagainya. Maka hal inilah yang penting menjadi agenda pengelola pendidikan tinggi komunikasi agar juga mengembangkan aspek kajian diluar komunikasi massa (media studies). Sedikit pakar seperti Dedy Mulyana yang mendalami kajian komunikasi antar budaya tersebut atau Budyatna yang mendalami komunikasi antar pribadi.

 

4. Kajian Komunikasi di Indonesia

Kajian komunikasi sebagai sebuah kajian teoritis terus menerus dikembangkan. Para ahli terus menerus melakukan penelitian menguji teori hasil penelitian  dalam bentuk-bentuk seminar-seminar. Di negara-negara maju tampak melalui sejumlah forum dan jurnal-jurnal yang diterbitkan. (lihat Little John pada bab  penutup).

Fenomena kajian komunikasi  di Indonesia menunjukkan beberapa fenomena berikut.

Di Indonesia, aktivitas ilmiah dalam kajian komunikasi dapat dilihat melalui kegiatan yang diadakan oleh kampus dan ISKI atau Perhumas. Bahkan tampak pula kemunculan lembaga baru humas yaitu Public Relation Society of Indonesia yang diketuai August Parengkuan dan sekjennya adalah Magdalena Wenas, seorang praktisi PR senior Indonesia. Tampaknya institusi semacam ini yang terlihat melakukan. Demikian pula tampak melalui lembaga LSM seperti Media Watch seperti ISAI, LSPP, LKM, dan sebagainya. Disatu sisi terdapat booming peminat kajian komunikasi berkat perkembangn media industri. Terlebih dengan hadirnya televise swasta. Namun disisi lain, kajian komunikasi belum begitu menunjukkan kecepatan yang memadai. Yang cukup menggembirakan adalah munculnya literatur komunikasi  yang ditulis oleh tokoh-tokoh muda seperti Deddy Mulyana, Eriyanto, Nurudin, Wirjanto, Alex Sobur, dan sebagainya. Dulu, untuk beberapa lama, yang tampil adalah tokoh sepeti Onong U. Effendi, Jalaludin Rahmat. Figur lain yang tampil aktif dalam menulis adalah Ashadi Siregar, Novel Ali, A Muis, Ana Nadya Abrar, Sinansari Ecip, Ade Armando, Effendi Ghazali, dan sebagainya. Mereka tampil dalam tulisan artikel di media massa.

ISKI telah menerbitkan jurnal ISKI. Dibanding pada edisi awal kondisi belakangan semakin baik, yang diterbitkan oleh Rosda Karya. Namun belakangan frekuensi terbitnya semakin tidak teratur. Sebelumnya telah pula ada Jurnal Audientia yang diterbitkan di Bandung oleh figure seperti Dedy Djamaludin Malik. Namun dewasa ini tidak lagi terbit. 

Sementara aktivitas besar dalam kegiatan ilmiah belum kelihatan. Dulu, Wilbur Schramm pernah melakukan penelitian di Indonesia tentang Palapa. Selebihnya, kajian yang serius barangkali tampak melalui hasil disertasi seperti yang sudah diterbitkan adalah Harsono Suwardi tentang komunikasi   politik. Penelitian lain yang sering dirujuk adalah karya  Rusdi Muhtar tentang pengaruh televisi dikalangan masyarakat di Sulawesi Selatan. Yang agak baru adalah penelitian Efendi Gazali tentang komunikasi politik di Indonesia. Betapa miskinnya keberadaan bacaan komunikasi di Indonesia.

Terakhir yang tampak : tentang  pers Indonesia masa kolonial oleh sejarawan Malaysia Ahmad Adam, karya Philip Kitley tentang televisi di Indonesia, Paul Tickell tentang pers Indonesia, . Dulu pernah ada  penelitian tentang pembreidelan pers di Indonesia oleh Smith. Sementara Daniel Dhakidae dengan pendekatan ekonomi   politik  meneliti pers industri masa orde baru.  Demikian pula David T. Hill tentang Mochtar Lubis dan pers orde baru. Demikian pula terdapat Ronny Adhikarya yang meneliti tentang pendidikan komunikasi di Asia, salah satunya di Indonesia. Juga Akhmad Adam tentang pers masa colonial.

Beberapa disertasi seperti Marwah Daud Ibrahim tentang satelit palapa, Bahktiar Aly tentang pers Indonesia, dan sebagainya. Ibnu Hammad tentang analisis wacana pers Indonesia. Ishadi SK tentang fenomena televisi di Indonesia. M. Alwi Dahlan menulis disertasi tentang komunikasi politik.

Sejumlah PT tampak menonjol seperti Departemen Komunikasi UI, Unpad, UGM, Unhas. Sedangkan beberapa yang lain seperti Undip,  Unair, UNS. Sedangkan swasta tampak seperti IISIP, dan sebagainya. Tentu saja fenomena lain seperti sejumlah PTN dan PTS yang membuka jurusan Ilmu Komunikasi.

Maka bagaimana  prospek dan arah kajian komunikasi di Indonesia kedepan ? Rasa-rasanya wacana kajian komunikasi di Indonesia belum begitu hangat memperbincangkan hal ini. Tampaknya dibutuhkan peran aktiv lembaga kajian komunikasi. Dalam hal  ini terutama kalangan kampus melalui pusat studi komunikasi. Diskusi-diskusi tentang buku-buku penting dalam bidang komunikasi, hasil-hasil penelitian komunikasi di Indonesia, sosialisasi hasil-hasil pemikiran, dan sebagainya.

Merindukan kajian komunikasi yang dinamis tampaknya masih jauh.   Padahal    persoalan ditengah-tengah masyarakat kita tidak sedikit. Peran ilmu komunikasi tentunya sangat diharapkan. Seperti kecemasan terhadap dampak televise, vcd, dan sebagainya. Masih jelas dalam ingatan, ketika temu mahasiswa komunikasi se Indonesia di Undip Semarang (1994) muncul wacana tentang sebaiknya ISKI dibubarkan karena tidak memiliki kontribusi bagi persoalan komunikasi di Indonesia. Terlebih ketika itu, sedang terjadi Pers Breidel terhadap Tempo Editor Detik dimana suara ISKI tidak terdengar.

Namun demikian hingga dewasa ini, ISKI masih satu-satunya yang dapat rutin melakukan kegiatan. Seperti tampak melalui simposium kurikulum yang reguler diadakan. Tentu saja wacana yang berkembang disini menjadi penting untuk diperhatikan dan menjadi rujukan bagi berbagai kalangan. Terutama lembaga pendidikan tinggi komunikasi yang semakin banyak jumlahnya.

Tampaknya agenda ke depan perlu untuk semakin menjadikan ilmu komunikasi dapat berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Melalu penerbitan jurnal, diskusi, buku, penelitian, dan sebagainya. Partisipasi dari berbagai kalangan sangat diperlukan.

Ada hal yang menarik dari figure pakar komunikasi M. Alwi Dahlan. Yakni ketika beliau dalam perjalanan karir panjangnya sebagai pakar komunikasi dimana upaya untuk menunjukkan kontribusi keberadaan ilmu komunikasi di Indonesia ketika beliau diangkat menjadi menteri penerangan RI terakhir masa Soeharto. Setelah sebelumnya lama menjadi staf ahli di kementerian lingkungan hidup. Melalui jabatan sebagai menteri sebagai keberhasilan dalam mengenalkan kajian komunikasi di Indonesia.

Maka kini dengan tingginya minat masyarakat memasuki bidang ilmu komunikasi menjadi penting untuk dijelaskan. Kalangan yang bergerak dalam penyelenggaraan bidang pendidikan komunikasi perlu untuk mengangkat wacana tentang hal ini. Semakin sering memperbincangkan sehingga didapat pemikiran yang semakin matang. Yang pada akhirnya dapat memperkuat keberadaan ilmu komunikasi di Indonesia.

Rasanya menjadi sesuatu yang janggal ketika masyarakat semakin berminat memasuki bidang ilmu komunikasi, namun perbincangan dikalangan komunitas pengkaji ilmu komunikasi tidak intens. Rasa-rasanya terdapat persoalan besar dan mendasar dalam hal ini. Betapa lemahnya tradisi keilmuan kita. Dan rasa-rasanya ini tidak pernah tuntas dan habis-habisnya. 

5. Mengajar Ilmu Komunikasi dan Cultural Studies

Belajar Ilmu Komunikasi dewasa ini kita berada dalam suatu pola baru. Artinya, ternyata tidak hanya belajar apa yang disebut sebagai ilmu komunikasi tapi sekaligus juga cultural studies. Dasarnya adalah apa yang berkembang dewasa ini dalam pendidikan tinggi komunikasi yang mulai mengangkat tema-tema kajian yang popular dari tradisi cultural studies.

Untuk menjelaskan mengenai keterkaitan antara Ilmu Komunikasi dengan Cultural Studies ini mengacu pada perdebatan yang pernah terjadi pada decade 60-an dengan tokoh utamanya Raymond William. Tokoh dari Inggeris ini memandang bahwa kajian ilmu komunikasi versi Amerika yang pada awalnya khusus mengkaji komunikasi massa atau media studies. Tentunya yang dimaksud berada dalam konteks kemunculan kajian ilmu komunikasi produk generasi 40-an yang terlibat dengan proyek Amerika untuk menghadapi PD II. Model kajian komunikasi dari generasi ini merupakan kajian komunikasi model transmisi ketika model Shannon Weaver telah menggeser kecenderungan kajian komunikasi menjadi semacam ini dan seketika model kajian komunikasi ala Chicago semakin memudar. Sebagaimana kita ketahui, model Chicago menarik dimana kajian komunikasi lebih humanistik. Kajian komunikasi dilakukan dalam rangka untuk membangun komunitas.

Menurut William, media massa hanyalah salah satu komponen dari kebudayaan (cultural studies). Maka mestinya kajian komunikasi itu lebih tepat sebagai Cultural Studies. William dalam konteks Eropa, Kelompok yang muncul sejak dekade 60-an ini, mencoba melihat komunikasi sebagai bagaian dari kajian budaya. Terutama lagi perhatian terhadap kesenjangan, konflik, kelompok minoritas, dan semacamnya. Cultural studies memberi perhatian terhadap kelompok minoritas dan memandang realitas terdiri atas banyak konflik yang masing-masing mewakili identitasnya. Dan konflik yang dimaksud adalah konflik ideologi. Tokoh terakhir terpenting dari aliran ini adalah Stuart Hall.

Sesungguhnya, tradisi Chicago—yang merupakan salah satu tradisi kajian awal komunikasi di Amerika--dikenal memiliki kedekatan dengan tradisi ilmu sosial Eropa yang berada dalam paradigma interpretatif. Sekalipun kemudian agaknya dapat disebutkan pula, kajian budaya tradisi Chicago di Amerika dapat disebutkan bahwa mereka tidak berkecenderungan pada Marxisme sebagaimana kecenderungan cultural studies di Eropa, terutama dari Birmingham sejak dekade 60-an berangkat dari neo Marxisme.

Sementara kita ketahui bahwa tradisi Amerika yang muncul dari generasi tahun 40-an telah menjadi mainstream termasuk di Indonesia. Maka dalam pendidikan tinggi komunikasi literatur pun merujuk pada tradisi ini, sebagaimana dapat dilihat populernya figur-figur seperti Scramm, Hovland, Lazarfeld, Berlo, Shannon Weaver, Berelson, Merton, dan sebagainya. Jadi faktor ini pula dapat dimengerti ketika terjadi perubahan nama dari Jurusan Publisistik yang menunjukkan pengaruh tradisi Jerman menjadi Jurusan Ilmu Komunikasi. Indonesia yang sedang membangun dengan proyek modernisasi di bawah Orde Baru banyak berkiblat ke Amerika. Dalam konteks ini pula kelahiran Ilmu Komunikasi Amerika sejalan dengan proyek modernisasi Amerika setelah keluar sebagai pemenang dalam PD II.

Tidak bias dipungkiri bahwa model transmisi telah berjaya pada masa Orde Baru. Masa pembangunan dan industri berkembang. Sementara kajian cultural studies terdengar dari sudut kepentingan yang lebih reformis untuk mengadakan pembaharuan dan kritik terhadap mainstream. Dalam konteks Indonesia, pendekatan semacam ini telah menjadi pilihan kalangan intelektual kritis dan penggiat masyarakat. Maka sejak dekade awal 90-an perhatian terhadap cultural studies mulai terdengar, termasuk dalam konteks kajian komunikasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dominannya tradisi Amerika dalam pengajaran komunikasi kita. Idealnya memang keseluruhan perspektif dikenalkan sehingga kemudian mahasiswa sendiri yang menentukan pilihan. Beberapa teman mengalami hal semacam ini. Ada keterlambatan menyadari adanya perspektif lain dalam kajian ilmu komunikasi.

Bila Ilmu Komunikasi (Massa) banyak memberi perhatian kepada kajian media (media studies), maka cultural studies memperhatikan banyak hal. Cultural studies mencoba menjelaskan tentang fenomena masyarakat kontemporer, dalam pengertian masyarakat informasi atau masyarakat kapitalisme lanjut. Misalkan beberapa tema yang dikaji adalah tentang lifestyle, fashion, sub culture, atau kelompok-kelompok minoritas. Asumsi yang digunakan dalam hal ini adalah adanya konflik ideologi atau identitas di masyarakat.

Maka kini ketika mengajarkan Pengantar Ilmu Komunikasi atau Teori Komunikasi—bahkan Filsafat dan Etika Komunikasi, kedua-keduanya harus diajarkan. Apa yang ditampilkan LittleJohn dalam bukunya menunjukkan kecenderungan semacam ini pula. Artinya, keseluruhan paradigma telah diakomodir. Tidak lagi dalam konteks kajian komunikasi massa terutama generasi Lazarfeld, Schramm, Lasswell, dan semacamnya. Demikian pula buku Rogers, A History of Communication Study ; A Biographycal Approach menunjukkan adanya fenomena cultural studies yang perlu pula ditelaah kalangan pengkaji ilmu komunikasi. Demikian pula John Fiske juga menunjukkan keberadaan dua paradigma besar yakni Empirisme School dan non empiris (semiotic, postrukturalist, etc).

Hal lain yang perlu juga untuk dikemukakan adalah pendekatan berdasarkan nilai-nilai ‘Timur”. Dalam konteks ini pandangan dari Timur seperti Asia atau Middle East yang berangkat dari Tradisi Agama Islam atau kepercayaan seperti Hindu, Budha, Tao, dan sebagainya. Sehingga kita bias lebih utuh untuk melihat kajian ilmu komunikasi. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa kajian komunikasi (Ilmu Sosial pada umumnya, pen) dalam tradisi Barat (Amerika dan Eropa) tidak dapat dilepaskan dari pandangan Judeo Cristian yang berakar dari tradisi Yunani dan Romawi.

Salah satu hal penting dari tradisi Timur adalah cara berfikir yang holistik, tidak menekankan pada individu tapi kolektivitas, serta pentingnya emosi dan spiritualisme. Tentu saja kecenderungan semacam ini akan mempengaruhi proses keilmuan. Sementara Barat sangat rasional empiris, individu sebagai pusat, pentingnya kompetisi, dan sebagainya. Dari sini kita dapat melihat bagaimana keterkaitan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Hal ini dapat dirujuk pada buku seperti The Asian Perspective of Communication Theories. Misalkan beberapa pemikiran dari tradisi Islam dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Hamid Mowlana, Mohammad Ayis.

Umumnya yang dikembangkan selama ini, kajian ilmu komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi massa dalam konteks Amerika. Maka figur yang dikenal adalah Lasswell, Schramm, Lazarfeld, Berelson, Shannon, Katz, dan sebagainya. Ketika hal ini ditanyakan kepada Prof M. Alwi Dahlan, menurutnya hal ini berkaitan dengan orientasi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Tampaknya hal ini dapat dimengerti, karena model transmisi yang sering disebut sebagai kajian administratif memang diperlukan bagi dunia industri atau Negara dalam hal ini tentang komunikasi pembangunan dalam konteks modernisasi. Mungkin ini yang disebut sebagai rasionalitas instrumental.

Belum terdengar figur dari Eropa misalkan seperti Raymond William, Stuart Hall, Boudrilard, dan sebagainya. Atau kalaupun dari Amerika belum terdengar figur Douglas Kellner, James W. Carey, dan sebagainya.

Namun pada dekade 90-an muncul wacana postmodernisme yang diantaranya telah mengenalkan kajian tentang wacana, semiotik, hermeneutik, dan sebagainya. Sebuah kajian yang berjalan beriringan dengan gerakan prodemokrasi di Indonesia. Suasana ketika kritik terhadap proyek modernisme telah berlangsung. Sementara kajian cultural studies yang berwatak reformis mendapat tempat karena memperhatikan kalangan yang tertindas, lemah, dan semacamnya.

Maka kini dalam era transisi menuju demokrasi dan reformasi, keberadaan kajian ini masih berlangsung. Dapat dijumpai dalam kajian tentang multikulturalisme. Termasuk juga alat analisis untuk melihat sejumlah gejala kontemporer seperti gaya hidup, budaya kapitalisme lanjut, kelompok-kelompok komunitas (subculture) dan sebagainya.

Dalam konteks semacam ini kajian komunikasi dewasa ini diajarkan. Walaupun di sisi lain juga terdapat kondisi. Agar terdapat keutuhan dalam memahami pengertian komunikasi.

Maka dapat dilihat betapa dalam tradisi keilmuan kita jumpai perdebatan paradigmatik. Senantiasa terjadi dialog antar paradigma. Hal ini tentu saja berkaitan dengan keberadaan ilmu tersebut yang berkaitan dengan kondisi masyarakat ketika itu. Misalnya, Chicago School berkaitan dengan kondisi masyarakat urban yang heterogen dimana ada kebutuhan untuk membangun kebersamaan. Maka kajian ilmu sosial lebih humanistik. Sementara model transmisi yang muncul dalam konteks ketika ada kepentingan untuk mengembangkan propaganda baik dalam konteks politik maupun industri. Maka kajian ilmu sosial pun dalam kepentingan melakukan propaganda. Demikian pula model cultural studies di Eropa yang disuarakan oleh mereka yang peduli terhadap kalangan minoritas seperti perhatian Raymond William terhadap kalangan pekerja di Inggris yang diteruskan pula oleh Stuart Hall. Atau dalam konteks Amerika, kajian cultural studies berkaitan dengan  kritik terhadap industri atau modernisasi.

Demikian pula seperti Komunikasi Antar Budaya yang dikembangkan Amerika ketika memiliki kebutuhan untuk memahami bangsa lain. Amerika setelah PD II keluar sebagai pemenang dan memimpin proyek modernisasi. Disatu sisi terdapat iklim dimana para politisi mereka kurang memahami bangsa lain yang sering menjadi kesulitan dalam melakukan hubungan. Maka dengan melibatkan para ahli antropologi seperti Edward Hall, maka peletakan dasar kajian Komunikasi Antar Budaya dilakukan.

Demikian pula untuk Komunikasi Internasional yang juga tidak terlepas dari kebutuhan Amerika dalam menghadapi interaksi yang semakin intens dengan bangsa lain. Maka kajian tentang Komunikasi Internasional menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Salah satu yang mempelopori adalah Wilbur Schramm, yang pernah meneliti ketika Perang Korea. Kaitannya dengan komunisme.Tokoh lain dalam komunikasi internasional adalah Hamid Mowlana, Majid Tehranian, dan sebagainya.

Bahwa tema lain yang penting pula adalah dari pada ilmuwan yang memperhatikan kepentingan negara-negara dunia ketiga. Bahwa tema-tema yang berbeda dengan kecenderungan yang dikembangkan dalam pemikiran Barat. Misalkan dapat disimak dari tulisan Majid Tehranian tentang komunitarian, yang memberi arti penting pemimpin komunitas. Demikian pula isu Tata Informasi Dunia Baru. Juga soal komunikasi pembangunan untuk kepentingan proyek modernisasi. Tentu saja dalam konteks komunikasi ini juga dipakai.Kritik terhadap teori modernisasi juga muncul dengan hadirnya teori dependesia.

Maka menarik untuk mencermati bahwa kondisi yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi penting untuk dipertimbangkan untuk konteks kajian ilmu komunikasi. Sejumlah persoalan misalkan transisi menuju demokrasi, konflik politik, pemikiran keagamaan, dan sebagainya. Demikian pula konsumerisme.

Misalkan menjadi penting untuk mengembangkan kajian komunikasi antar personal, terutama untuk kepentingan masalah komunikasi keluarga, resolusi konflik, komunikasi organisasi, dan sebagainya. Demikian juga komunikasi dalam dunia pendidikan, yang sangat kental dengan pendekatan komunikasi antar personal.

Untuk mendekatkan kajian komunikasi untuk kasus-kasus Indonesia menjadi penting untuk memberi apresiasi terhadap karya-karya ilmu sosial yang sudah ada seperti Sartono Kartodirjo, Kuntowijoyo, Kuncaraningrat, dan sebagainya. Upaya untuk mencari landasan untuk konsep komunikasi Indonesia. Juga tradisi kajian tentang Indonesia yang dikerjakan dalam tradisi kolonial baik oleh pejabat kolonial maupun orientalis. Hal ini sebagai pertimbangan mengenai tradisi kajian komunikasi khas Indonesia.

Sebuah contoh fenomena komunikasi di Indonesia adalah soal logika terbalik. Cukup familiar di kalangan pers Indonesia—terutama pada masa orba—bila ada sebuah berita yang isinya bantahan itu faktanya sebaliknya. Ini menarik untuk mengungkapkan tentang budaya komunikasi  Indonesia.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar