Filsafat, Ilmu dan Komunikasi
A. Filsafat
Filsafat termasuk
ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, oleh karena itu titik tolak untuk
memahami dan mengerti filsafat adalah rneninjau dari segi etimologi. Tinjauan
secara etimologik adalah membahas sesuatu istilah atau kata dari segi asal usul
kata itu.
Secara Etimologi,
istilah filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata fajuah (Arab),
philoso. philoshopy (Inggris), philosophia (Latin), philosopie {Jerman, Belanda,
Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah
Yuanani philein
berarti `mencintai', sedangkan philos berarti `teman'.
Selanjutnya istilah shopos berarti “bijaksana”, sedangkan sophia berarti
`kebijaksanaan'.
Ada dua arti secara
etimologik dan filsafat yang sedikit berbeda, Pertama, apabila istilah filsafat
mengacu pada asal kata philien dan sophos,
maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan
sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos
dan sophia, maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan
dimaksudkan sebagaiu kata benda).
Menurut sejarah,
Pythagoras (571-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosopbia. Ketika beliau ditanya
apakah ia sebagai orang yang bijaksana, maka Pythagoras dengan rendah hati
menyebut dirinya sebagai philosopos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover
of wisdom). Banyak sumber yang menegaskan bahwa sophia mengandung arti yang
lebih luas dari pada kebijaksanaan. Artinya ada berbagai macam, antara lain: 1)
kerajinan, 2) kebenaran pertama, 3) pengetahuan yang luas, 4) kebajikan
intelektual, 5) pertimbangan yang sehat, 6) kecerdikan dalam memutuskan hal-hal praktis.
Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah
mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excelence).
a).
Filsafat sebagai Suatu Sikap
Filsafat adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta. Bila seseorang dalam keadaan krisis atau menghadapi problem yang sutit, maka kepadanya dapat diajukan pertanyaan bagaimana Anda menanggapi keadaan semacam itu? Bentuk pertanyaan semacam itu membutuhkan jawaban secara kefilsafatan. Problem-problem tersebut ditinjau secara luas, tenang, dan mendalam. Tanggapan semacam itu menumbuhkan sikap ketenangan, keseimbangan pribadi, mengendalikan diri, dan tidak emosional Sikap dewasa secara filsafat adalah sikap menyelidiki secara kritis, terbuka, toleran dan selalu bersedia meninjau suatu problem dari semua sudut pandangan.
b).
Filsafat sebagai Suatu Metode
Filsafat sebagai metode artinya sebagai cara berpikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti. Filsafat berusaha untuk memikirkan seluruh pengalaman manusia secara mendalam dan jelas. Metode berpikir semacam ini bersifat inklusif (mencakup secara luas) dan synoptic (secara garis besar), oleh karena itu berbeda dengan metode pemikiran yang yang dilakukan oleh ilmu-ilmu khusus.
c).
Filsafat sebagai Kelompok Persoalan
Banyak persoalan abadi
(perennial-povblems) yang dihadapi manusia
dan para filsuf berusaha memikirkan dan menjawabnya. Beberapa pertanyaan yang
diajukan pada masa lampau telah dijawab secara memauskan. Misalnya pertanyaan
tentang ide-ide bawaan (inneat idea) telah dijawab oleh
John Loke pada abad ke-17. Namun masih banyak pertanyaan lain yang dijawab
sementara. Di samping itu juga masih banyak problem-problem yang jawabannya
masih diperdebatkan atau pun diseminarkan sampai hari ini, bahkan ada yang
belum terpecahkan.
Pertanyaan kefilsafatan misalnya; apakah kebenaran itu? Apakah perbedaan antara benar dan salah? Mengapa manusia ada di dunia? Apakah segala sesuatu yang ada di dunia ini terjadi secara kebetulan ataukah merupakan peristiwa yang sudah pasti? .Apakah manusia mempunyai kehendak bebas untuk menentukan nasibnya sendiri ataukah sudah ditentukan oleh Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak mudah untuk dijawab, sebab akan, menimbulkan pertanyan susulan terus menerus. Setiap fiisuf memiliki wewenang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengajukan argumentasi yang logis dan rasional.
d).
Filsafat sebagai Sekelompok Teori atau Sistem Pemikiran
Sejarah filsafat ditandai dengan pemunculan teori-teori atau sistem-sistem pemikiran yang terlekat pada nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Spinoza, Hegel, Karl Marx, August Compte, dan lain-lainnya. Teori atau sistem pemikiran filsafat itu dimunculkan oleh masing-masing filsuf untuk menjawab masalah-masalah seperti yang telah dikemukakan di atas. Besarnya kadar subjektivita.s seorang filsuf dalan? menjawab masalah-masalah itu menjadikan kita sulit untuk menentukan teori atau sistem pemikiran yang baku dalam filsafat.
e). Filsafat sebagai Analisa Logis tentang Bahasa dan Penjelasan Makna
Istilah
Kebanyakan filsuf memakai
metode analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa.
Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas
pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat.
Para filsuf analitika sepert; G.E.Moore, B.RusseIl, L.wittgeinstein; G.Ryle,
J.L..Austin dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah
menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau
ungkapan ayang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan dipakai dalam kehidupan
sehari-hari. Merekla berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para
filsuf, Yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide.
Dalam kaitannya dengan i1mu, maka filsafat mempelajari arti-arti dan menentukan hubungan-hubungan diantara konsep-konsep dasar yang dipakai setiap ilmu. Misalnya, dalam ilmu komunikasi adalah substansi pesan. Dalam menghadapi konsep-konsep dasar tersebut ada perbedaan tinjauan antara ahli ilmu-ilmu khusus dengan ahli filsafat.
f). Filsafat merupakan Usaha untuk Memperoleh Pandangan yang Menyeluruh
Filsafat mencoba
menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia
menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten. Para filsuf berhasrat meninjau
kehidupan tidak dengan sudut pandangan yang khusus sebagaimana dilakukan oleh
seorang ilmuwan. Para filsuf memakai pandangan yang menyeluruh terhadap
kehidupan sebagai suatu totalitas. Menurut para ahli filsafat spekulatif (yang
dibedakan dengan filsafat kritis), dengan tokohnya C.D.Broad, tujuan filsafat
adalah mengambil alih hasil-hasil pengalaman manusia dalam bidang keagamaaan,
etika, dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil-hasil tersebut direnungkan secara
menveluruh.
Dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh bebrapa kesimpulan umum tentang sifat-sifat dasar alam semesta, kedudukan manusia di dalamnya serta pandangan-pandangan ke dapan: Usaha filsafati semacarn ini sebagai reaksi terhadap masa lampau dimana filsafat hanya terarah pada analisis bidang khusus. Usaha yang hanya mementingkan sebagian dari pengetahuan atau usaha yang hanua menitikberatkan pada sebagian kecil dari pengalaman manusia Para filsuf seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas; Hegel, Bergson, John Dewey; dan A.N.Whitehead termasuk filsuf yang berusaha untuk memperoleh pandangan tentang hal-hal secara komprehensif.
1. Objek Material
dan Objek Formal Filsafat
Ilmu adalah kumpulan
pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah
ilmu. Kumpulan pengatahuan untuk dapat disebut ilmu hanya memilki syarat-syarat
tertentu. Syarat-syart yang dimaksudkan adalah objek materiil dan objek formal.
Objek materiil adalah sesuatu yang ha1 yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu hal yang diselidiki dan dipeIajari. Objek materiil mencakup apa saja, baik hal-hal konkrit (misalnya manusia, tumbuhan, batu) ataupun hal-hal yang abstrak (misalnya: ide-ide, nilai-nilai, keagamaan). Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materiilnva serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain.
2. Hubungan
Ilmu dengan Filsafat
Ada hubungan timbal balik antara ilmu
dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada
pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan
keliru. Ilmu dewasa ini dapat
menyediakan bagi, filsafat sj;umlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang
sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan
dengan pengetahuan ilmiah.
Setiap ilmu memiliki konsep-konsep dan
asumsi-asumsi yang yang bagi, ilmu itu sendiri tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konsep dari ilmu itu diterima dengan begitu saja tanpa dinilai dari dikritik.
Namun filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep. Konsep dasar dan
memeriksa asumsi-asum si dari iimu-ilmu untuk memperoleh arti dan validitasnya.
Kalau konsep-konsep dari ilmu tidak dijelaskan dan asumsi-asumsi tidak
dikuatkan maka hasil-hasil yang dicapai ilmu tersebut tanpa memperoleh landasan
yang kuat.
Interaksi antara filsafat dan ilmu-ilmu khusus juga menyangkut suatu tujuan yang lebih jauh dari flsafat. Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang terpadukan, komprehensif dan konsisten. Secara komprehensif artinya tidak ada sesuatu bidang yang berada diluar jangkauan flsafat. Secara konsisten artinya uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi.
3. Persoalan Filsafat
Timbulnya filsafat karena manusia merasa
kagum dan heran. Pada tahap awalnya kekaguman
atau keheranan itu terarah pada
gejala-gejala alam. Misalnya gempa bumi, banjir, melihat laut yang sangat luas.
Orang yang heran berarti ia merasa tidak tahu, atau dia menghadapi persoalan.
Persoalan inilah yang ingin diperoleh jawabannya oleh para filsuf. Darimana
jawaban itu dapat diperoleh? Jawaban diperoleh dengan melakukan
refleksi, yaitu berpikir tentang fikirannya sendiri. Dalam hal ini tidak semua
persoalan itu musti persoalan filsafat tetapi juga non-filsafat. Ciri-ciri persoalan
filsafat adalah sebagai berikut:
a)
Bersifat sangat umum.
b)
Tidak menyangkut fakta
c)
Bersangkutan dengan
nilai-nilai baik nilai moral, estetis, agama dan sosial.
d)
Bersifat kritis,
artinya filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsepkonsep dan
arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh suatu ilmu tanpa
pemeriksaan secara kritis.
e)
Bersifat sinoptik,
artinya persaalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan.
Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
f) Bersifat implikatif, artinya kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Tawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh kepentingan-kepentingan manusia.
4. Berfikir Secara
Kefilsafatan
Berfilsafat adalah berpikir. Ini tidak
berarti berpikir adala,h berfilsafat. Berfilsafat itu berpikir dengan ciri-ciri
tertentu:
a) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan radikal.
b) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan universal umum.
c) Berpikir kefilsafatan dicirikan secara konseptual.
d) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara kohoren dan
konsisten.
e) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik.
f) Berpikir secara kefilsahtan dicirikan secara komprehensif
g) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas
h) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan bertanggung
jawab.
5. Gabang-Gabang Filsafat
Ada tiga jenis persoalan filsafat yang
utama yaitu persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang pengetahuan, dan
persoalan tentang nilai-nilai.
a)
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi. Persoalan keberadaan atau eksistensi
bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika.
b)
Persoalan pengetahuan
(knowledge) atau kebenaran. Pengetahuan ditinjau dari
segi isinya bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi. Sedangkan
kebenaran ditinjau dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat
logika.
c) Persoalan nilai-nilai (rules). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, nilai-nilai kebaikan tingkah laku dan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai kebaikan tingkah laku bersangkutan dengan cabang filsafat etika. Nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika.
a. Metafisika
Filsafat pertama ini mengurai tentang
sesuatu yang ada dibelakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah,
hidup, mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran
tentang sifat yang terdalam (ultimatete nature) dan kenyataan atau kebenaran.
Persoaian-persoalan metafisis dibedakan
menjadi tiga yaitu peroalan ontoiogi, persoalan kosmologi, dan persoalan
antropologi.
1) Persoalan
ontologis antara lain; apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi
itu? Bagaimanakah penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi? Apa sifat
dasar kenyataan atau keberadaan;).
2) Persoalan kosmologis (alam). Persoalan
kasmologis bertalian dengan asal-mula, perkembangan dan struktur atau susunan
alam. Mislanya, jenis keturunan apa yang ada dalam alam? Keteraturan dalam alam
seperti halnya sebuah mesin ataukah keteraturan yang bertujuan? Apa hakikat
hubungan sebab dan akibat? Apakah ruang dan waktu itu?.
3) Personal
antropologi (manusia). Bagaimana terjadi hubungan badan dan jiwa? Apa yangh
dimaksud dengan kesadaran manusia sebagai makhluk bebas atau tak bebas?,
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang mempelajari asalmula atau sumber, struktur, metode, dan
syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah
"apakah ada itu?", sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya
adalah "apa yang dapat saya ketahui?".
Persoalan-persoalan
dalam epistemologi adalah:
a)
Bagaimanakah manusia
dapat mengetahui sesuatu?
b)
Darimana pengetahuan
itu dapat diperoleh?
c)
Bagaimanakan
validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
d)
Apa perbedaan antara
pengetahuan apriori (pengetahuan berpengalaman) dengan
pengetahuan aposteriori (pengetahuan puma pengalaman).
Logika sebagai cabang filsafat
bersangkutan dengan kegiatan berpikir. Logika dapat didefinisikan sebagai ilmu,
kecakapan atau alat untuk berpikir secara lurus. Dengan demikian yang menjadi
objek material logika adalah pemikiran, sedangkan objek formalnya adalah
kelurusan berpikir.
Persoalan-persoalan
logika adalah:
a) Apa yang dimaksud dengan pengertian (concep)?
b) Apa yang dimaksud dengan putusan (proposition)?
c) Apa yang dimaksud dengan penyimpulan (inference)?
d) Apa aturan-aturan untuk dapat menyimpulkan secara lurus?
e) Apa macam-maram silogisme?
f) Apa macam-macam sesat fikir ( fallary)?
d. Etika
Etika sebagai cabang filsafat juga disebut
sebagai filsafat moral. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan
manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan
keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dan tingkah laku tersebut, Dengan
demikian perbuatan yang dilakukan secara
tidak sadar dan tidak bebas dapat dikenai penilaian bermoral atau fidak
bermoral. Persoalan-persoalan dalam etika diantaranya adalah:
a) Apa yang dimaksud "baik" atau: buruk" secara
moral?
b) Apa syarat-syarat sesuatu perbuatan dikatakan baik secara
moral?
c) Bagaimanakah hubungan antara kebebasan kehendak dengan
perbuatan susila?
d) Bagaimanakah peranan hati nurani dalam setiap perbuatan
manusia?
e) Bagaimanakah pertimbangan moral berbeda dari dan bergantung
pada suatu pertimbangan yang bukan moral?
e. Estetika
Estetika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat
keindahan. Kalau etika digambarkan sebagai teori tentang baik dan jahat, maka
estetika digambarkan sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan.
Baik etika maupun estetika keduanya betalian dengan nilai-nilai. Etika
bertalian dengan nilai-nilai moral, sedangkan estetika bertalian dengan nilai
bukan moral.
Persoalan-persoalan
estetis diantaranya sebagai berikut:
a) Apakah keindahan itu?
b) Keindahan bersifat objektif ataukah subjektif?
c) Apa yang merupakan ukuran keindahan?
d) A pa peranan keindahan dalam kehidupan manusia?
e) Bagaimanakah hubungan keindahan dengan kebenaran?
f. Aliran-Aliran
Filsafat
1. Aliran-aliran dalam Persoalan
Keberadaan
Persoalan
keberadaan menimbulkan tiga segi pandangan yaitu;
Pertama, keberadaan dipandang dari segi jumlah, banyak (kuantitas)
artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Segi masalah kuantitas ini
melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya.
1) Monisme
Aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan
fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi
lainnya yang tidak dapat diketahui. Tokoh-tokohnya antara lain: Thales
(625-545 SM) yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu
substansi, yaitu air. Anaximander (610-547 SM) berkeyakinan bahwa yang
merupakan kenyataan terdalam adalah Apeiron, yaitu sesuatu yang tanpa
batas, tak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu
benda yang ada dalam dunia Anaximenes
(585-528) berkeyakinan bahwa yang merupakan unsur kenyataan yang
sedalam-dalamnya adalah udara. Filsuf modern yang termasuk penganut Monisme
adalah Baruchz Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi
yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (Naturan.s
Narurara).
2) Dualisme
Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing
berdiri sendiri. Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah Plato
(428-348 SM), yang membedakan dua dunia yaitu dunia indera (dunia
bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide). Descartes (1596-1650) yang
membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan. Leibniz (1646-1716)
yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel
Kant (1727-1844) yang membedakan antara dunia gejala (penomena) dan dunia
hakiki (neomena).
3) PluraIisme (serba banyak)
Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua
substansi melainkan banyak substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme
diantaranya: Empedokles (490-430 SM) yang menyatakan bahwa hakikat
kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu: udara, air, api dan tanah. Anaxagoris
(500-428 SM) yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur
yang tak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya itu dikuasai olch suatu tenaga yang
dinamakan nous. Dikatakannya bahwa nous adalah suatu zat yang paling
halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur. Liebniz
(1646-1716) menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari monade-monade yang
tidak terhingga banyaknya. Monade adalah substansi yang tidak berluas, selalu
bergerak, tidak terbagi, dan tidak dapat rusak. Setiap monade saling
berhubungan dalam suatu sistem yang sebelumnya telah diselaraskan Harmonia
Prestabilia. Pandangan filsafat kontemporer yang memihak pada pluralisme adalah
pascamodernisme (postmodernisme) dengan tokoh-tokohnya antara lain; Mitchel Foucoult,
J.J Derrida dan J.F. Lyotard.
Kedua, keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas)
menimbulkan beberapa aliran sebagai berikut:
1)
Spiritualisme, yang mengandung beberapa arti.
- Spiritualisme
adalah ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh
(Pneuma, Nous, Reason, Logos) yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh
alam. Spritualisme semacam ini dilawankan dengan materialisme.
- Spiritualisme
kadang-kadang kenakan pada pandangan idealistik yang menyatakan adanya roh
mutlak. Dunia indera dalam pengeratian ini dipandang sebagai dunia idea.
- Spiritualisme
dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari
roh suci dalam bidang agama.
- Spiritualisme
berarti kepercayaan bahwa roh-roh orang mati berkomunikasi dengan orang
yang masih hidup melalui orang-orang tertentu yang menjadi perantara dan
lewat bentuk wujud yang lain.
Aliran spiritualisme
juga disebut idealisme (serba cita). Tokoh-tokoh aliran ini diantaranya adalah
sebagai berikut. Plato (430-348 SM) dengan ajarannya tentang idea (cita)
dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran asli segala benda. Semua yang ada
dalam dunia hanyalah merupakan penjelmaan atau bayangan saja. Ide (cita) tidak
dapat ditangkap dengan indera (dicerap), tetapi dapat dipikirkan. Sedangkan
yang ditangkap oleh indera manusia hanyalah dunia baying-bayang. Liebniz (1646-1718)
dengan teorinya tentang monade. Monade adalah sesuatu yang bersahaja,
sederhana, tidak menempati ruang, tidak terbentuk. Sifatnya yang terutama
adalah bergerak, menanggap dan berpikir. Setiap monade bersifat otonom mutlak.
2)
Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa
tidak ada hal yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah
penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsure-unsur fisik. Materi
adalah sesuatu hal yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk, menempati ruang.
Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih
dan rasa senang, tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Tokoh-tokohnya
antara lain.
Demokritos (460-370 SM) berkeyakinan bahwa alam
semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan. Atom-atom
ini memiliki sifat yang sama, perbedaannya hanya tentang besar, bentuk dan
letaknya. Jiwa pun menurut Demokritos dikatakan terjadi dari atom-atom, hanya
saja atom-atom jiwa itu lebih kecil, bulat dan amat mudah bergerak. Thomas
Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia
merupakan gerak dari materi. Termasuk juga disini pikiran, perasaan adalah
gerak materi belaka. Karena segala sesuatu terjadi dari benda-benda kecil, maka
bagi Hobbes, filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari benda-benda.
Ketiga, keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau
perubahan. Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini diantaranya adalah
sebagai berikut.
1)
Mekanisme
(serba mesin)
menyatakan bahwa semua gejala (peristiwa) dapat dijelaskan berdasarkan
asas-asas mekanik (mesin). Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei
(1564-1641) dan filsuf lainnya dalam abad 17 sebagai filsafat mekanik.
2)
Teleologi
(serba tujuan) berpendirian
bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan
tetapi sejak semua memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan
alam ke suatu tujuan.
3)
Vitalisme memandang bahwa keindahan tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan secara fisik-kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan
yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti Hans Adolf Eduart Driesch
(1867-1940) menjelaskan bahwa setiap organisme memiliki etelechy. Henry
Bergson (1859-1941) menyebutnya élan vital.
4)
Organisme aliran ini biasanya dilawankan dengan
mekanisme dan vitalisme. Menurut organisme, hidup adalah suatu struktur yang
dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan
tetapi yang utama adalah adanya system yang teratur.
2. Aliran-aliran dalam Persoalan Pengetahuan
Persoalan pengetahuan yang bertalian
dengan sumber-sumber pengetahuan, dijawab oleh aliran-aliran berikut ini.
1) Rasionalisme, berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber
pada akal. Akal memperoleh bahan lewat indera kemudian diolah oleh akal
sehingga menjadi pengetahuan. Rene Descartes membedakan tiga idea yang ada
dalam manusia yaitu innate ideas, adventius ideas dan factitious
ideas.
2) Empirisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat
indera. Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian
kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman.
Pengetahuan berupa pengalaman terdiri dari penyusunan dan pengaturan
kesan-kesan yang bermacam-macam.
3) Realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa objek-objek yang
diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Objek-objek tersebut tidak
tergantung adanya pada yang mengetahui, yang mencerap atau tidak bergantung
pada pikiran.
4) Kritisisme, adalah aliran yang berusaha menjawab persoalan
pengetahuan dengan tokohnya Immanuel Kant. Titik tolak Kant adalah waktu dan
ruang sebagai dua bentuk pengamatan. Akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari
empiri (dari indera sebagai empiri extern dan dari pengalaman sebagai empiri
intern).
Sementara itu
persoaln pengetahuan yang menekankan pada hakikat pengetahuan, dijawab oleh
aliran-aliran seperti idelaisme (pengetahuan adalah proses-proses mental
ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subjektif), empirisme
(hakikat pengetahuan adalah berupa pengalaman), positivisme (kepercayaan
yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi), dan pragmatisme (menanyakan
apa guna pengetahuan).
B. KOMUNIKASI
Istilah
Komunikasi ada yang menyebut berasal dari kata communicare yang berarti
menyampaikan.Pandangan ini sejalan dengan komunikasi dengan kata common
yang berarti kesamaan. Jadi komunikasi berkaitan dengan penyampaian sesuatu
dalam rangka mendapatkan kesamaan makna.
Namun penting
pula melihat komunikasi kaitannya dengan istilah community. Dalam
pengertian ini juga bias dilihat kesamaan berkaitan dengan pembentukan
komunitas. Jadi tidak dalam kesamaan pemahaman, tapi keguyupan masyarakat yang
berhasil diintegrasikan.
Bagaimana kita mengartikan apa yang
dimaksud komunikasi itu? Secara kosa kata ada beberapa sebutan seperti communicare,
common, communism, community. Masing-masing memberi penekanan dari sisi
tertentu. Ada yang berorientasi pada kontrol, pengendalian, dan sebagainya. Pada sisi lain ada yang menekankan pada kesamaan,
pendekatan yang humanistik. Berikut penjelasannya.
Defenisi merupakan sebuah konsep.
Selanjutnya defenisi merupakan bagian dari unsur teori. Bila kita menyimak salah satu pengertian teori sebagai hubungan
antar konsep, defenisi, preposisi yang menjelaskan tentang sesuatu. (Kerlinger). Bila kita kaitkan dengan
logika (penalaran) maka defenisi merupakan sebuah konsep. Bagian awal dari
proses berfikir. Secara harafiah, defenisi diartikan sebagai batasan. Ada
beberapa defenisi yaitu defenisi konsep yang merujuk pada penjelasan. Satunya
lagi defenisi operasional, untuk mengukur konsep tersebut kedalam realitas
empiris. Dengan demikian, defenisi
merupakan langkah awal dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu
komunikasi, kita akan mengenali dengan mulai dari defenisi komunikasi
itu.
1. Definisi Komunikasi
Secara etimologis, perkataan komunikasi berasal dari bahasa
Latin “communicare” yang mempunyai arti berpartisipasi atau
memberitahukan. Perkataan “communis” berarti milik bersama atau “berlaku
di mana-mana”.
Sedangkan
untuk pengertian secara definitif, dapat kita kemukakan beberapa pendapat para
sarjana, di antaranya Carl I.Hoveland seorang ahli Ilmu Jiwa pada Yale
University , yang menyatakan sebagai berikut: “Communication is the process
by which an individual transmit stimuly (usually verbal syimbols) to modify the
behavior of another individuals” (Sumarno, 1989:7).
Dalam
definisi ini tampak bahwa komunikasi itu sebagai suatu proses menstimulasi dari
seorang individu terhadap individu lain dengan menggunakan lambang-lambang yang
berarti, berupa lambang kata untuk mengubah tingkah laku.
Lebih
sederhana lagi batasan yang diberikan oleh Warren Weaver, sebagaimana dikutip
Sumarno (1989:7) yang menyatakan sebagai berikut: ”Communication is all of
the procedure by which one mind can effect another” (Komunikasi adalah
semua prosedur dengan mana pemikiran seseorang dapat mempengaruhi yang
lainnya).
Komunikasi
sebagaimana didefinisikan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver, merupakan
penyampaian informasi, ide, perasaan (emosi), keahlian, dan sebagainya, melalui
penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, bentuk, grafik, dan
sebagainya (dalam D.Lawrence dan W.Schramm, 1987:55).
Komunikasi
merupakan aktivitas yang amat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
makhluk di dunia, terutama manusia. Karenanya, tidak salah apabila dikatakan
bahwa sejarah komunikasi sama tuanya dengan sejarah umat manusia dan akan terus
ada sampai akhir masa. Begitu pentingnya komunikasi bagi manusia, sehingga ada
yang menyatakan bahwa tanpa komunikasi kehidupan manusia tidak akan punya arti
atau bahkan manusia tidak akan dapat bertahan lama.
Harold
Laswell (1972) dalam karyanya The Structure and Function of Communication in
Society, dengan model komunikasinya, memberikan pengertian komunikasi dalam
pernyataan: “who says to whom in what channel with what effect”.
Komunikasi sebagai suatu proses penyampaian pesan dari komunikator yang
ditujukan kepada komunikan melalui media atau saluran yang menimbulkan efek
tertentu.
Sedangkan
Simpson dan Weiner mendefinisikan, komunikasi sebagai penanaman (imparting),
penyampaian (conveying), atau penukaran (exchange) ide-ide,
pengetahuan, maupun informasi baik melalui pembicaraan, tulisan, maupun tanda-tanda
(Goldhaber, 1990:15).
Dalam
kata pengantar buku mereka yang berjudul Effective Communication for Today’s
Manager, James Robbins dan Barbara Jones (1982: terj.vii), menyatakan:
Semua organisasi, tidak peduli bagaimana
bentuk dan tujuannya, ditopang, disatukan, dan melaksanakan fungsinya melalui
proses komunikasi. Komunikasi adalah saluran untuk melakukan dan menerima
pengaruh, mekanisme perubahan, alat untuk mendorong dan mempertinggi motivasi
serta pranata dan sarana yang memungkinkan suatu organisasi mencapai tujuannya.
Tanpa komunikasi takkan ada interaksi antarpersonal, tak ada kelompok, tak ada
pemerintahan bahkan tak ada suatu masyarakat seperti dewasa ini. Tanpa
komunikasi, kekacauanlah yang merajalela.
Astrid
S. Susanto (1983:37) menyatakan bahwa proses komunikasi banyak disebut-sebut
sebagai asal-muasal dari hampir semua permasalahan dalam organisasi atau badan
usaha serta manajemen, tetapi pada umumnya kurang dipahami. Sebaliknya cukup
disadari bahwa komunikasi yang efektif merupakan dasar utama untuk mencapai
tujuan organisasi, walaupun komunikasi tetap merupakan masalah besar bagi
organisasi.
Komunikasi memiliki definisi yang banyak. Ada yang menekankan
pada adanya tujuan (intention) tapi ada pula yang tidak. Dalam
littlejohn dibedakan tiga model dalam memahami apa yang dimaksud
komunikasi—dengan penekanan masing-masing. Apa yang disebut sebagai sender
model, receiver model, dan sender-receiver model.
Selanjutnya bagaimana
mendefenisikan komunikasi dengan sudut pandang lain ? ada tiga cara kita
mendefenisikan apa itu komunikasi yakni receiver model, sender model, dan
behavior sender receiver model.
Pada receiver
model. Bila suatu teks, yang tidak disengaja, ditangkap oleh individu. Terjadi
proses pembentukan makna pada diri seseorang ; maka dikatakan sudah terjadi
proses komunikasi. Misalkan seseorang memberi makna terhadap seseorang yang
tidak sengaja menguap didekatnya sementara dia sedang berbicara. Dia merasa apa
yang dibicarakannya membosankan bagi orang itu. Jadi, sekalipun faktanya orang
yang menguap itu tidak memiliki maksud apapun dengan menguap didepan orang yang
sedang berbicara itu.
Sender model. Misalkan
seseorang menyampaikan pesan, secara sengaja, tapi tidak ditangkap atau
dimaknai orang lain. Jadi disini pembentukkan makna hanya
terjadi pada diri pembuat pesan. Contohnya, seseorang melambaikan tangan kepada
temannya yang kelihatan dari jauh, tapi temannya itu sedang asyik dengan
pikirannya sendiri. Maka disini sudah berlangsung proses
komunikasi.
Sender –
Receiver Behavioral Model. Seseorang menyampaikan pesan dengan
sengaja, apakah non verbal maupun verbal ; kemudian ditangkap orang lain,
apakah sekilas ataukah secara penuh. Inilah model komunikasi yang paling
sempurna.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita dapat menjumpai gradasi perilaku komunikasi. Disini
kita dapat melihat beraneka ragam fenomena komunikasi dalam kehidupan
manusia.
Intinya adalah
komunikasi ada yang terjadi pada komunikator ketika membuat pesan secara sadar.
Dalam hal lain, terjadi pada diri komunikan dalam meresepsi pesan secara sadar.
Atau kedua unsur komunikator membuat dan menyampaikan pesan secara sadar dan
komunikan meresepsi secara sadar pula.
Tampaklah
bahwa komunikasi merupakan aktivitas sadar dilakukan manusia. Berkaitan dengan
proses psikologis dalam diri manusia baik pada komunikator maupun komunikan.
Komunikasi juga fenomena sosiologis ketika terjadi proses interaksi social.
Hal ini
menunjukkan bahwa komunikasi didekati dari sejumlah sudut keilmuan. Inilah yang
mencirikan ilmu komunikasi itu bersifat interdisipliner. Bidang ilmu lain yang
penting bagi fondasi ilmu komunikasi adalah politik, linguistik, antropologi,
dan sebagainya.
Pada sisi
lain, adakalanya terdapat suatu gerak atau perilaku tidak sengaja, dan diberi
makna oleh orang lain (Receiver Model). Maka ini juga sudah berlangsung
komunikasi karena sudah berlangsung proses pembentukan makna. Hal ini
mengingatkan pada model meaning diatas.
Demikian pula
ketika seseorang secara sadar menyampaikan suatu pesan namun tidak dimakna
orang lain, juga menunjukkan sudah berlangsung komunikasi. Karena komunikator
sudah menghasilkan makna.
Maka dari
uraian diatas dapat disimpulkan adanya tiga model untuk membatasi tindakan
manusia yang dapat digolongkan sebagai komunikasi. Kita juga melihat betapa
dalam realitas kehidupan terdapat sejumlah kondisi yang menunjukkan komunikasi.
Baik pada tingkat receiver, sender, atau sender-receiver.
Tampaklah disini bagaimana komunikasi
diartikan dalam sejumlah dimensi. Ini menjadi penting sebagai dasar untuk
mengartikan apa yang disebut sebagai komunikasi. Ada banyak cara dalam
memandang apa itu komunikasi.
Maka cara kita
mendefenisikan istilah komunikasi dapat melalui sejumlah sudut pandang. Pada
satu sisi menekankan pada level observasi. Apakah pada kalangan individu,
kelompok, masyarakat, internasional, dan sebagainya. Juga pada sisi tingkat kesengajaan suatu tindakan
penyampaian pesan. Bahwa yang disebut komunikasi ada yang menekankan harus
disengaja dari seseorang kepada pihak lain ; sementara pandangan lain
menekankan bahwa suatu tindakan yang tidak disengajapun bila telah menghasilkan
makna pada orang lain itu sudah berlangsung komunikasi. Defenisi lain
akan melihat komunikasi itu berkaitan dengan tingkat penerimaan pesan. Apakah
pesan itu berhasil sampai pada sasaran ataukah tidak ditangkap.
Cara kita
memandang apa itu hakekat komunikasi setidaknya dapat melalui cara pandang
tentang makna komunikasi antara transmisi dan meaning. Cara berfikir
semacam ini sangat fundamental dalam mereka memahami makna komunikasi. Sehingga
dengan begitu mereka dapat menghubungkan dengan berbagai realitas komunikasi.
Sehingga kemudian mereka dapat mengkaitkan dengan model-model komunikasi.
Misalkan model Shannon Weaver itu berkaitan dengan komunikasi sebagai
transmisi. Demikian pula model lain seperti stimulus respon, Berlo, dan
sebagainya. Sedangkan model meaning dapat dijumpai dalam pesan non verbal, atau
juga dalam cultural studies.
Tentang
cultural studies juga merupakan sesuatu yang menarik bagi mereka. Tentang
tema-tema kontemporer pada masyarakat urban seperti lifestyle, identitas,
masyarakat konsumsi, dan sebagainya.
Kita dapat
melihat interaksi antara kehidupan sosial dan teori-teori akademis. Pada
1940-an, ahli teori peduli dengan pemamahaman upaya (obedience), kesepakatan (conformity),
dan prasangka. Topik-topik yang kuat (salient) pada masa setelah Perang Dunia. Ilmuwan pada 1940-an tidak
mempelajari HIV dan bentuk-bentuk komunikasi yang mempromosikan seks yang aman, juga karena HIV tidak ada atau karena tidak
diidentifikasi pada masa itu. Baik
ilmuwan ilmu eksask maupun ilmuwan ilmu-ilmu sosial pada 1990-an
melakukan pengkajian dampak strategi komunikasi yang berbeda pada keinginan pasangan untuk mempraktekan seks aman (Bowen
& Michal-Johnson, 1995,1996).
Sebagian besar
teori tentang komunikasi dalam relasionsip pribadi didasarkan pada
relasionsip romantis dari usia sekolah,
orang Eropa Amerika, kelas menengah, able-bodied heterosexuals yang tinggal berdekatan
satu sama lain. Hanya belakangan
berkembang kesadaran tentang keanekaragaman budaya mendorong para
sarjana untuk mempelajari dan mengembangkan teori-teori tentang komitmen gay
dan lesbian (Huston &Schwartz, 1996), relasionsip diantara anggota budaya
minoritas (Gaines, 1995), pernikahan permanen diantara individu dewasa,
relasionsip dilakukan melewati sistim komunikasi elektronik (Lea &
Spears, 1995), dan relasionsip jarak jauh (Rohlfing, 1995).
Contoh lain
tentang pengaruh budaya pada pembangunan
teori adalah penekanan pada
individualitas yang menandai sebagian besar teori komunikasi Barat. Pada
sejumlah masyarakat, seperti Asia, nilai-nilai kolektif atau komunal merupakan
dihargai lebih dari pada individualisme.
Jadi teori-teori Timur melihat
unit kehidupan yang paling kecil sebagai kolektiv, tidak pada orang
individu. (Wenzhong & Grove, 1991). Interdependen merupakan isu praktis dan teoritikal yang
lebih penting dari pada independen (Chang & Holt, 1991). Selanjutnya,
ideologi dominan dalam budaya kolektif menekankan harmoni, konformity pada
kelompok, kerendahhatian (humility), dan perbedaan yang kontras pada budaya
individualis yang menekankan pada
pernyataan (assertion), kepercayaan diri, otonomi, dan konflik
(Berg&Jaya, 1993; Klopf, 1991).
2. Sejarah Perkembangan Ilmu Komunikasi
Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan
yang tergolong muda. Sekalipun pada sisi yang lain, sejarah perkembangan ilmu
komunikasi sudah tua sejak masa Yunani dan baru dirumuskan dalam era modern
sebagai ilmu baru sejak dekade PD II.
Dewasa ini penelitian-penelitian
komunikasi terus menerus dilakukan. Sejumlah
jurnal ilmiah dalam bidang komunikasi terbit. Sejumlah karya ilmiah telah
menjadi karya klasik dalam ilmu komunikasi seperti The People Choice, The
Passing of Traditional Society, Mass Media and National Development, Personal
Influence, Understanding Media, The Process and Effect of Communication, Public
Opinion, dan sebagainya.
Demikian pula sejumlah figurnya seperti Paul F. Lazarfeld,
Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard Berelson, Carl
Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon, McComb, George G.
Gebner, dan sebagainya telah dikenal sebagai tokoh-tokoh dalam kajian ilmu
komunikasi.
Sedangkan di Indonesia terdapat sejumlah figur penting dalam
bidang Ilmu Komunikasi seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi
Muis, Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N.
Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya.
Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi
di Indonesia.
Ilmu Komunikasi merupakan fenomena
Amerika, bila kita lihat dari penggunaan sebutan Ilmu Komunikasi.
Perhatikanlah, di Indonesia pada awalnya lebih dikenal pendidikan Publisistik.
Istilah yang menandakan meneruskan tradisi Jerman. Namun sejak dekade 70-an
mulai digunakan istilah Ilmu Komunikasi dimana pendidikan jurnalistik hanyalah
salah satu bidang yang terutama masuk
dalam kelompok komunikasi massa.
Jejak tradisi Amerika dalam kajian
ilmu komunikasi di Indonesia dapat dilihat melalui figur M. Alwi Dahlan yang
berkesempatan belajar langsung pada para perintis kajian Ilmu Komunikasi
seperti Wilbur Schramm, Elihu Katz, Gregory Bateson, dan sebagainya. M. Alwi
Dahlan, doktor komunikasi pertama Indonesia ini, pada tahun 60-an sudah lulus
dan berkiprah di Indonesia. Upaya M. Alwi Dahlan mengenalkan Ilmu Komunikasi
tampak baik melalui Fisip UI maupun lembaga seperti penerbitan atau riset serta
kantor pemerintahan. Tentu saja juga melalui organisasi seperti
ISKI, Perhumas, dan terakhir menjadi Menpen.
Kenyataannya
dalam pendidikan tinggi komunikasi di Indonesia, dominasi kiblat tradisi
Amerika dari kalangan administratif riset menonjol. Studi Ronny Adhikarya telah
menunjukkan hal ini. Kecenderungan ini rupanya tidak hanya terjadi di
Indonesia, tapi juga umumnya di Asia Tenggara, dan juga di benua lain.
Ilmu
Komunikasi berawal dari dekade 40-an ketika Amerika menghadapi propaganda dalam
rangka menghadapi peperangan. Beberapa prakondisi ketika itu adalah adanya
ancaman Nazi dalam memperluas kekuasaannya, kebutuhan untuk mendapat dukungan
rakyat dalam rangka menghadapi perang dunia kedua, dan kebutuhan mempelajari propaganda lawan
seperti Jerman. Maka dalam konteks inilah kajian komunikasi dirintis. Kemudian
setelah masa perang, tradisi ini kemudian dilanjutkan bagi kepentingan dunia
komersial.
Sejumlah
ilmuwan yang dikumpulkan pemerintah—dalam hal ini departemen
pertahanan—berkumpul dalam rangka kepentingan menghadapi peperangan. Beberapa
figur tersebut, yang kemudian dilembagakan Scramm menjadi ilmu komunikasi,
seperti Paul F. Lasarfeld, Hovland, Lasswell, Berelson, Shannon, Scramm, dan
sebagainya. Setelah PD
II, kajian komunikasi yang muncul dalam konteks perhatian yang besar terhadap
propaganda dilanjutkan bagi kepentingan dunia industri.
Generasi yang melahirkan Ilmu Komunikasi ini yang kelak dikenal sebagai kelompok administrative riset cenderung mengembangkan komunikasi sebagai fenomena transmisi, yakni pengiriman informasi. Tidak heran pula, kajian komunikasi dominan sebagai kajian komunikasi massa. Dalam konteks inilah kita mengenal sejumlah model komunikasi seperti Shannon, Lasswell, Scramm, SMCR dan sebagainya.
Demikian pula penelitian komunikasi identik dengan kajian tentang media. Seperti Content Analysis, Uses & Gratification, Agenda Setting, Cultivation Analysis, survey dampak media, dan sebagainya. Model penelitian ini sudah familiar dalam kajian komunikasi. Namun sekali lagi menunjukkan dominannya kajian komunikasi massa.
Dewasa ini
kita memerlukan untuk memahami tentang pentingnya memperhatikan kajian
komunikasi yang lebih komprehensif. Bahwa komunikasi massa hanyalah salah satu
bidang kajian dalam Ilmu Komunikasi. Padahal disebutkan bahwa awal abad 20
kajian lebih banyak tentang fenomena retorika. Sementara tahun 70-an mulai
muncul kajian tentang komunikasi antar personal. Bidang-bidang
seperti ini kelihatan belum begitu berkembang di Indonesia.
Satu hal
penting pula yang perlu dipaparkan bahwa terjadi pergeseran penting dalam
pandangan mengenai komunikasi di Amerika. Yakni pada awalnya, pemahaman tentang
komunikasi berangkat dari pandangan yang humanistik sebagaimana dikembangkan
kelompok Chicago. Tapi dengan munculnya kelompok
administrative riset di masa propaganda tahun 40-an, terjadi perubahan cara
pandang terhadap makna komunikasi. Dalam konteks
ini dapat dimengerti kemudian pandangan filosofis tentang komunikasi mengalami
pergeseran. Walaupun kemudian, menurut Everret M. Rogers, dewasa ini model
komunikasi sebagai pemaknaan (meaning) juga mulai mendapat tempat
kembali. Pendekatan yang lebih interpretatif yang kembali merujuk pada Max
Weber, dan semacamnya.
Untuk itu
perlu pula untuk memperhatikan tentang pandangan dalam memahami makna
komunikasi. James W. Carey menyebut komunikasi bisa dilihat dalam dua cara
pandang. Pertama model transmisi dan kedua model meaning atau ritual.
Model kedua belum banyak diungkap. Hal ini dapat dimengerti karena terjadi
fenomena di mana sejak kehadiran model komunikasi model Shannon yang linier
telah menjadi mainstream dalam memahami makna komunikasi. Padahal sebelumnya,
akar kajian komunikasi di Amerika sangat humanistik atau dalam hal ini berada
dalam model meaning. Hal inilah
yang terjadi.
Satu hal yang
menarik bahwa dua model komunikasi
diatas tidak lepas dari perkembangan peradaban Barat. Misalkan model transmisi
dapat ditarik pada perkembangan peradaban di Barat ketika muncul modernisasi.
Ketika terjadi aufklarung, rasionalitas manusia berkembang. Dalam masa
ini ditandai arti penting transportasi seperti penjelajahan samudera atau dalam
konteks Amerika dibangunnya jalan raya atau rel kereta api yang mampu
menghubungkan daerah-daerah baru. Maka dalam konteks ini terjadi pemindahan barang
dan orang serta tentunya ide-ide. Sehingga pendatang, yang kemudian mendatangi
daerah-daerah baru, kemudian terjadi eksplorasi dan seterusnya. Dalam konteks
semacam ini model transmisi dalam komunikasi berkaitan dengan pemindahan
informasi di mana kontrol komunikator menjadi penting. Dengan pandangan kritis,
dapat kita katakan model transmisi telah ditandai dengan eksploitasi,
penguasaan, dan semacamnya.
Menjadi
penting untuk disadari bahwa dewasa ini kembali perhatian muncul terhadap
pendekatan budaya (cultural studies) ini. Dengan demikian, fenomena
cultural studies dalam kontek tradisi pragmatis Amerika dapat dipahami dalam
konteks ini. Seorang tokohnya, James W. Carey, dalam tulisan-tulisannya mencoba
membahas cultural studies dalam kaitannya dengan tradisi pragmatis dari
Chicago ini.
Upaya untuk
menoleh kembali pada cara pandang mengenai komunikasi sebagai fenomena
pemaknaan (meaning) tampaknya ketika terjadi kejenuhan terhadap dominasi
dari tradisi kajian komunikasi dari generasi administratif riset yang telah
mendominasi selama beberapa dekade.
3. Perkembangan
Kajian Komunikasi
Julia Wood
mengamati perkembangan kajian komunikasi dalam perkembangan trend berikut ini.
Bahwa terdapat relasi antara perkembangan dalam kehidupan sosial dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Pada dekade 40-an, perhatian ilmuwan banyak
mengenai upaya memahami obedience, conformity, dan prejudice. Tema-tema ini
yang berkembang setelah PD II. Pada masa itu belum ada masalah seperti HIV
sebagaimana sekarang. Demikian pula, pada decade 90-an terdapat perhatian
terhadap soal komunikasi berkaitan dengan soal seksualitas (Bowen & Michal
Johnson, 1995, 1996).
Dulu perhatian
juga lebih banyak mengenai hubungan antar pribadi seputar hubungan romantis
dikalangan remaja sekolah, kalangan menengah Eropa Amerika, able bodied
heterosexuals bagi yang tinggal berdekatan. Belakangan ini berkembang kesadaran
mengenai pluralisme budaya yang memotivasi ilmuwan meneliti dan mengembangkan
teori mengenai kalangan gay dan lesbian ((Huston &Schwartz, 1996), relasi
antar individu dikalangan orang dewasa (Dickson, 1995), relasi dikalangan
anggota budaya minoritas(Gaines, 1995), pernikahan permanen diantara individu
dewasa, relasionsip dilakukan melewati sistim komunikasi elektronik (Lea &
Spears, 1995), dan relasionsip jarak jauh (Rohlfing, 1995)
Contoh lain
mengenai pengaruh budaya pada pengembangan ilmu pengetahuan adalah penekanan
pada individu pada sebagian besar teori komunikasi Barat (Western). Pada
masyarakat lain seperti Asia, nilai-nilai kolektif atau komunal lebih dihargai.
Jadi teori-teori dari Timur (Oriental) melihat bagian terkecil pada
kolektifitas. Dan tidak pada individu. (Wenzhong & Grove, 1991). Perhatian
mengenai hubungan yang saling bergantung (interdependent) lebih penting
daripada independent (Chang & Holt, 1991). Selanjutnya, ideologi dominan
dalam budaya kolektif menekankan harmoni, konformity pada kelompok,
kerendahhatian (humility), dan perbedaan yang kontras pada budaya individualis
yang menekankan pada pernyataan
(assertion), kepercayaan diri, otonomi, dan konflik (Berg&Jaya, 1993;
Klopf, 1991).
Bertentangan
dengan teori-teori komunikasi Barat yang menekankan pada perhatian utama pada
pemunculan diri (self disclosure), ahli teori Timur telah menunjukkan
sedikit minat pada penunjukkan (revelations)
pribadi dan menunjukkan emosi, yang menunjukkan kemarahan (frowned upon)
pada banyak masyarakat Timur (Ishii&Bruneau, 1991; Johnson & Nakanishi,
1993; Ting—Toomey, 1991). Hal ini
menunjukkan dimana perhatian dan ideologi budaya membentuk sifat teori pada momen yang telah ada dalam kehidupan suatu masyarakat.
(Wood, 359-360).
Bagaimana
dengan perkembangan kajian komunikasi di Indonesia ? Mengamati beberapa
penelitian penting : Rusdi Muhtar
tentang dampak menonton televisi di Sulawesi Selatan, Wilbur Schramm,
Gon Cu, Alfian tentang dampak satelit palapa di Indonesia, Marwah Daud Ibrahim
tentang satelit palapa, Harsono Suwardi
tentang peran suratkabar dalam komunikasi politik, Ibnu Hamad tentang wacana politik,
Ishadi tentang televisi, Prof
achmad tentang pers Indonesia, Bahtiar Aly tentang pers Indonesia, M.
Alwi Dahlan tentang komunikasi politik, Efendi Ghazali meneliti tentang
komunikasi politik di Indonesia periode pasca orde baru dan sebagainya. Disini
juga menjadi penting untuk diperhatikan, bagaimana akar tradisi Eropa sudah
lama di Indonesia dalam kaitannya dengan kajian komunikasi.
Selain itu
terdapat pula sejumlah kajian yang
tidak dihasilkan ahli komunikasi, tapi sangat penting bagi kajian komunikasi.
Smith tentang sejarah pembreidelan pers
di Indonesia, Ahmad Adam dari Malaysia tentang pers pergerakan di Indonesia,
Tickell tentang pers di Indonesia, David T. Hill tentang Mohtar Lubis dan Pers
Indonesia. Philip Kitley tentang fenomena dunia televisi swasta yang muncul di
Indonesia diakhir 1990-an. Krisna Sen tentang film Indonesia.
Bila diawal, kajian
komunikasi di Indonesia ditandai tentang kajian jurnalistik. Kini dalam
perkembangan, bidang komunikasi meluas. Jurnalistik hanyalah salah satu bidang
kajian. Terdapat bidang humas, periklanan, kajian tentang televisi, radio,
kehadiran media-media baru seperti
internet, dan sebagainya. Pada sisi lain tampak misalkan belum ada
penelitian humas yang sampai menjadi
pembicaraan di Indonesia. Juga kita kekurangn ahli kajian periklanan, radio,
dan sebagainya. Inilah lahan yang perlu untuk dipertimbangkan para sarjana
komunikasi.
Mengamati
kecenderungan, kajian lulusan komunikasi umumnya dominant dalam bidang
komunikasi massa. Demikian pula pakar komunikasi dapat dilihat umumnya sebagai
pakar komunikasi massa. Masih sedikit yang muncul atau mendalami bidang lain
seperti komunikasi organisasi, kajian public relations, komunikasi antar
budaya, dan sebagainya. Maka hal inilah yang penting menjadi agenda pengelola
pendidikan tinggi komunikasi agar juga mengembangkan aspek kajian diluar
komunikasi massa (media studies). Sedikit pakar seperti Dedy Mulyana
yang mendalami kajian komunikasi antar budaya tersebut atau Budyatna yang
mendalami komunikasi antar pribadi.
4. Kajian Komunikasi di Indonesia
Kajian komunikasi sebagai sebuah kajian
teoritis terus menerus dikembangkan. Para ahli terus menerus melakukan
penelitian menguji teori hasil penelitian
dalam bentuk-bentuk seminar-seminar. Di negara-negara maju tampak
melalui sejumlah forum dan jurnal-jurnal yang diterbitkan. (lihat Little John
pada bab penutup).
Fenomena kajian komunikasi di Indonesia menunjukkan beberapa fenomena
berikut.
ISKI telah menerbitkan jurnal ISKI. Dibanding pada edisi awal kondisi belakangan semakin baik, yang diterbitkan oleh Rosda Karya. Namun belakangan frekuensi terbitnya semakin tidak teratur. Sebelumnya telah pula ada Jurnal Audientia yang diterbitkan di Bandung oleh figure seperti Dedy Djamaludin Malik. Namun dewasa ini tidak lagi terbit.
Sementara aktivitas besar dalam kegiatan
ilmiah belum kelihatan. Dulu, Wilbur Schramm pernah melakukan penelitian di
Indonesia tentang Palapa. Selebihnya, kajian yang serius barangkali
tampak melalui hasil disertasi seperti yang sudah diterbitkan adalah Harsono
Suwardi tentang komunikasi politik.
Penelitian lain yang sering dirujuk adalah karya Rusdi Muhtar tentang pengaruh televisi
dikalangan masyarakat di Sulawesi Selatan. Yang agak baru adalah penelitian
Efendi Gazali tentang komunikasi politik di Indonesia. Betapa miskinnya
keberadaan bacaan komunikasi di Indonesia.
Terakhir yang tampak : tentang pers Indonesia masa kolonial oleh sejarawan
Malaysia Ahmad Adam, karya Philip Kitley tentang televisi di Indonesia, Paul
Tickell tentang pers Indonesia, . Dulu pernah ada penelitian tentang pembreidelan pers di
Indonesia oleh Smith. Sementara Daniel Dhakidae dengan pendekatan ekonomi politik
meneliti pers industri masa orde baru.
Demikian pula David T. Hill tentang Mochtar Lubis dan pers orde baru.
Demikian pula terdapat Ronny Adhikarya yang meneliti tentang pendidikan
komunikasi di Asia, salah satunya di Indonesia. Juga Akhmad Adam tentang pers
masa colonial.
Beberapa disertasi seperti Marwah Daud
Ibrahim tentang satelit palapa, Bahktiar Aly tentang pers Indonesia, dan
sebagainya. Ibnu Hammad tentang
analisis wacana pers Indonesia. Ishadi SK tentang fenomena televisi di
Indonesia. M. Alwi Dahlan menulis disertasi tentang komunikasi politik.
Sejumlah PT tampak menonjol seperti
Departemen Komunikasi UI, Unpad, UGM, Unhas. Sedangkan beberapa yang lain
seperti Undip, Unair, UNS. Sedangkan
swasta tampak seperti IISIP, dan sebagainya. Tentu saja fenomena lain seperti
sejumlah PTN dan PTS yang membuka jurusan Ilmu Komunikasi.
Merindukan kajian komunikasi yang dinamis
tampaknya masih jauh. Padahal persoalan ditengah-tengah masyarakat kita
tidak sedikit. Peran ilmu komunikasi tentunya sangat diharapkan. Seperti
kecemasan terhadap dampak televise, vcd, dan sebagainya. Masih jelas dalam ingatan, ketika temu mahasiswa komunikasi se
Indonesia di Undip Semarang (1994) muncul wacana tentang sebaiknya ISKI
dibubarkan karena tidak memiliki kontribusi bagi persoalan komunikasi di
Indonesia. Terlebih ketika itu, sedang terjadi Pers Breidel terhadap Tempo
Editor Detik dimana suara ISKI tidak terdengar.
Namun demikian hingga dewasa ini, ISKI
masih satu-satunya yang dapat rutin melakukan kegiatan. Seperti tampak melalui
simposium kurikulum yang reguler diadakan. Tentu saja wacana yang berkembang
disini menjadi penting untuk diperhatikan dan menjadi rujukan bagi berbagai
kalangan. Terutama lembaga pendidikan tinggi komunikasi yang semakin banyak
jumlahnya.
Tampaknya agenda ke depan perlu untuk
semakin menjadikan ilmu komunikasi dapat berfungsi dalam kehidupan
bermasyarakat. Melalu penerbitan jurnal, diskusi, buku, penelitian, dan
sebagainya. Partisipasi dari berbagai kalangan sangat diperlukan.
Ada hal yang menarik dari figure pakar
komunikasi M. Alwi Dahlan. Yakni ketika beliau dalam perjalanan karir
panjangnya sebagai pakar komunikasi dimana upaya untuk menunjukkan kontribusi
keberadaan ilmu komunikasi di Indonesia ketika beliau diangkat menjadi menteri
penerangan RI terakhir masa Soeharto. Setelah sebelumnya lama menjadi staf ahli
di kementerian lingkungan hidup. Melalui jabatan sebagai menteri sebagai
keberhasilan dalam mengenalkan kajian komunikasi di Indonesia.
Maka kini dengan tingginya minat
masyarakat memasuki bidang ilmu komunikasi menjadi penting untuk dijelaskan.
Kalangan yang bergerak dalam penyelenggaraan bidang pendidikan komunikasi perlu
untuk mengangkat wacana tentang hal ini. Semakin sering memperbincangkan
sehingga didapat pemikiran yang semakin matang. Yang pada akhirnya dapat
memperkuat keberadaan ilmu komunikasi di Indonesia.
Rasanya menjadi sesuatu yang janggal ketika masyarakat semakin berminat memasuki bidang ilmu komunikasi, namun perbincangan dikalangan komunitas pengkaji ilmu komunikasi tidak intens. Rasa-rasanya terdapat persoalan besar dan mendasar dalam hal ini. Betapa lemahnya tradisi keilmuan kita. Dan rasa-rasanya ini tidak pernah tuntas dan habis-habisnya.
5. Mengajar Ilmu Komunikasi dan Cultural
Studies
Untuk menjelaskan mengenai keterkaitan antara Ilmu Komunikasi dengan Cultural Studies ini mengacu pada perdebatan yang pernah terjadi pada decade 60-an dengan tokoh utamanya Raymond William. Tokoh dari Inggeris ini memandang bahwa kajian ilmu komunikasi versi Amerika yang pada awalnya khusus mengkaji komunikasi massa atau media studies. Tentunya yang dimaksud berada dalam konteks kemunculan kajian ilmu komunikasi produk generasi 40-an yang terlibat dengan proyek Amerika untuk menghadapi PD II. Model kajian komunikasi dari generasi ini merupakan kajian komunikasi model transmisi ketika model Shannon Weaver telah menggeser kecenderungan kajian komunikasi menjadi semacam ini dan seketika model kajian komunikasi ala Chicago semakin memudar. Sebagaimana kita ketahui, model Chicago menarik dimana kajian komunikasi lebih humanistik. Kajian komunikasi dilakukan dalam rangka untuk membangun komunitas.
Menurut William, media massa hanyalah salah satu komponen dari kebudayaan (cultural studies). Maka mestinya kajian komunikasi itu lebih tepat sebagai Cultural Studies. William dalam konteks Eropa, Kelompok yang muncul sejak dekade 60-an ini, mencoba melihat komunikasi sebagai bagaian dari kajian budaya. Terutama lagi perhatian terhadap kesenjangan, konflik, kelompok minoritas, dan semacamnya. Cultural studies memberi perhatian terhadap kelompok minoritas dan memandang realitas terdiri atas banyak konflik yang masing-masing mewakili identitasnya. Dan konflik yang dimaksud adalah konflik ideologi. Tokoh terakhir terpenting dari aliran ini adalah Stuart Hall.
Sesungguhnya, tradisi Chicago—yang merupakan salah satu tradisi kajian awal komunikasi di Amerika--dikenal memiliki kedekatan dengan tradisi ilmu sosial Eropa yang berada dalam paradigma interpretatif. Sekalipun kemudian agaknya dapat disebutkan pula, kajian budaya tradisi Chicago di Amerika dapat disebutkan bahwa mereka tidak berkecenderungan pada Marxisme sebagaimana kecenderungan cultural studies di Eropa, terutama dari Birmingham sejak dekade 60-an berangkat dari neo Marxisme.
Sementara kita ketahui bahwa tradisi Amerika yang muncul dari generasi tahun 40-an telah menjadi mainstream termasuk di Indonesia. Maka dalam pendidikan tinggi komunikasi literatur pun merujuk pada tradisi ini, sebagaimana dapat dilihat populernya figur-figur seperti Scramm, Hovland, Lazarfeld, Berlo, Shannon Weaver, Berelson, Merton, dan sebagainya. Jadi faktor ini pula dapat dimengerti ketika terjadi perubahan nama dari Jurusan Publisistik yang menunjukkan pengaruh tradisi Jerman menjadi Jurusan Ilmu Komunikasi. Indonesia yang sedang membangun dengan proyek modernisasi di bawah Orde Baru banyak berkiblat ke Amerika. Dalam konteks ini pula kelahiran Ilmu Komunikasi Amerika sejalan dengan proyek modernisasi Amerika setelah keluar sebagai pemenang dalam PD II.
Tidak bias dipungkiri bahwa model transmisi telah berjaya pada masa Orde Baru. Masa pembangunan dan industri berkembang. Sementara kajian cultural studies terdengar dari sudut kepentingan yang lebih reformis untuk mengadakan pembaharuan dan kritik terhadap mainstream. Dalam konteks Indonesia, pendekatan semacam ini telah menjadi pilihan kalangan intelektual kritis dan penggiat masyarakat. Maka sejak dekade awal 90-an perhatian terhadap cultural studies mulai terdengar, termasuk dalam konteks kajian komunikasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dominannya
tradisi Amerika dalam pengajaran komunikasi kita. Idealnya memang keseluruhan
perspektif dikenalkan sehingga kemudian mahasiswa sendiri yang menentukan
pilihan. Beberapa teman mengalami hal semacam ini. Ada keterlambatan menyadari
adanya perspektif lain dalam kajian ilmu komunikasi.
Bila Ilmu Komunikasi (Massa) banyak memberi
perhatian kepada kajian media (media studies), maka cultural studies
memperhatikan banyak hal. Cultural studies mencoba menjelaskan tentang fenomena
masyarakat kontemporer, dalam pengertian masyarakat informasi atau masyarakat
kapitalisme lanjut. Misalkan beberapa tema yang dikaji adalah tentang
lifestyle, fashion, sub culture, atau kelompok-kelompok minoritas. Asumsi yang
digunakan dalam hal ini adalah adanya konflik ideologi atau identitas di
masyarakat.
Maka kini ketika mengajarkan Pengantar Ilmu Komunikasi atau Teori Komunikasi—bahkan Filsafat dan Etika Komunikasi, kedua-keduanya harus diajarkan. Apa yang ditampilkan LittleJohn dalam bukunya menunjukkan kecenderungan semacam ini pula. Artinya, keseluruhan paradigma telah diakomodir. Tidak lagi dalam konteks kajian komunikasi massa terutama generasi Lazarfeld, Schramm, Lasswell, dan semacamnya. Demikian pula buku Rogers, A History of Communication Study ; A Biographycal Approach menunjukkan adanya fenomena cultural studies yang perlu pula ditelaah kalangan pengkaji ilmu komunikasi. Demikian pula John Fiske juga menunjukkan keberadaan dua paradigma besar yakni Empirisme School dan non empiris (semiotic, postrukturalist, etc).
Hal lain yang perlu juga untuk dikemukakan adalah pendekatan berdasarkan nilai-nilai ‘Timur”. Dalam konteks ini pandangan dari Timur seperti Asia atau Middle East yang berangkat dari Tradisi Agama Islam atau kepercayaan seperti Hindu, Budha, Tao, dan sebagainya. Sehingga kita bias lebih utuh untuk melihat kajian ilmu komunikasi. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa kajian komunikasi (Ilmu Sosial pada umumnya, pen) dalam tradisi Barat (Amerika dan Eropa) tidak dapat dilepaskan dari pandangan Judeo Cristian yang berakar dari tradisi Yunani dan Romawi.
Salah satu hal penting dari tradisi Timur
adalah cara berfikir yang holistik, tidak menekankan pada individu tapi
kolektivitas, serta pentingnya emosi dan spiritualisme. Tentu saja
kecenderungan semacam ini akan mempengaruhi proses keilmuan. Sementara Barat
sangat rasional empiris, individu sebagai pusat, pentingnya kompetisi, dan
sebagainya. Dari sini kita dapat melihat bagaimana keterkaitan ilmu pengetahuan
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Hal ini dapat dirujuk pada buku seperti The Asian
Perspective of Communication Theories. Misalkan beberapa pemikiran dari
tradisi Islam dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Hamid Mowlana, Mohammad Ayis.
Umumnya yang dikembangkan selama ini, kajian ilmu komunikasi
yang dimaksud adalah komunikasi massa dalam konteks Amerika. Maka figur yang dikenal adalah Lasswell, Schramm, Lazarfeld, Berelson, Shannon,
Katz, dan sebagainya. Ketika hal ini ditanyakan kepada Prof M. Alwi Dahlan,
menurutnya hal ini berkaitan dengan orientasi pendidikan untuk memenuhi
kebutuhan dunia kerja. Tampaknya hal ini dapat dimengerti, karena model
transmisi yang sering disebut sebagai kajian administratif memang diperlukan
bagi dunia industri atau Negara dalam hal ini tentang komunikasi pembangunan
dalam konteks modernisasi. Mungkin ini yang disebut sebagai rasionalitas instrumental.
Belum terdengar figur dari Eropa misalkan seperti Raymond
William, Stuart Hall, Boudrilard, dan sebagainya. Atau kalaupun dari Amerika
belum terdengar figur Douglas Kellner, James W. Carey, dan sebagainya.
Namun pada dekade 90-an muncul wacana postmodernisme yang
diantaranya telah mengenalkan kajian tentang wacana, semiotik, hermeneutik, dan
sebagainya. Sebuah kajian yang berjalan beriringan dengan gerakan prodemokrasi di
Indonesia. Suasana ketika kritik terhadap proyek modernisme telah berlangsung.
Sementara kajian cultural studies yang berwatak reformis mendapat tempat karena
memperhatikan kalangan yang tertindas, lemah, dan semacamnya.
Maka kini dalam era transisi menuju demokrasi dan reformasi,
keberadaan kajian ini masih berlangsung. Dapat dijumpai dalam kajian tentang
multikulturalisme. Termasuk juga alat analisis untuk melihat sejumlah gejala kontemporer seperti
gaya hidup, budaya kapitalisme lanjut, kelompok-kelompok komunitas (subculture)
dan sebagainya.
Dalam konteks semacam ini kajian komunikasi dewasa ini
diajarkan. Walaupun di sisi lain juga terdapat kondisi. Agar terdapat keutuhan
dalam memahami pengertian komunikasi.
Maka dapat dilihat betapa dalam tradisi keilmuan kita jumpai perdebatan paradigmatik. Senantiasa terjadi dialog antar paradigma. Hal ini tentu saja berkaitan dengan keberadaan ilmu tersebut yang berkaitan dengan kondisi masyarakat ketika itu. Misalnya, Chicago School berkaitan dengan kondisi masyarakat urban yang heterogen dimana ada kebutuhan untuk membangun kebersamaan. Maka kajian ilmu sosial lebih humanistik. Sementara model transmisi yang muncul dalam konteks ketika ada kepentingan untuk mengembangkan propaganda baik dalam konteks politik maupun industri. Maka kajian ilmu sosial pun dalam kepentingan melakukan propaganda. Demikian pula model cultural studies di Eropa yang disuarakan oleh mereka yang peduli terhadap kalangan minoritas seperti perhatian Raymond William terhadap kalangan pekerja di Inggris yang diteruskan pula oleh Stuart Hall. Atau dalam konteks Amerika, kajian cultural studies berkaitan dengan kritik terhadap industri atau modernisasi.
Demikian pula seperti Komunikasi Antar
Budaya yang dikembangkan Amerika ketika memiliki kebutuhan untuk memahami
bangsa lain. Amerika setelah PD II keluar sebagai pemenang dan memimpin proyek
modernisasi. Disatu sisi terdapat iklim dimana para politisi mereka kurang
memahami bangsa lain yang sering menjadi kesulitan dalam melakukan hubungan.
Maka dengan melibatkan para ahli antropologi seperti Edward Hall, maka
peletakan dasar kajian Komunikasi Antar Budaya dilakukan.
Demikian pula untuk Komunikasi Internasional
yang juga tidak terlepas dari kebutuhan Amerika dalam menghadapi interaksi yang
semakin intens dengan bangsa lain. Maka kajian tentang Komunikasi Internasional
menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Salah satu yang mempelopori adalah
Wilbur Schramm, yang pernah meneliti ketika Perang Korea. Kaitannya dengan
komunisme.Tokoh lain dalam komunikasi internasional adalah Hamid Mowlana, Majid
Tehranian, dan sebagainya.
Bahwa tema lain yang penting pula adalah
dari pada ilmuwan yang memperhatikan kepentingan negara-negara dunia ketiga.
Bahwa tema-tema yang berbeda dengan kecenderungan yang dikembangkan dalam
pemikiran Barat. Misalkan dapat disimak dari tulisan Majid Tehranian tentang
komunitarian, yang memberi arti penting pemimpin komunitas. Demikian pula isu
Tata Informasi Dunia Baru. Juga soal komunikasi pembangunan untuk kepentingan
proyek modernisasi. Tentu saja dalam konteks komunikasi ini juga dipakai.Kritik
terhadap teori modernisasi juga muncul dengan hadirnya teori dependesia.
Maka menarik untuk mencermati bahwa
kondisi yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi penting untuk
dipertimbangkan untuk konteks kajian ilmu komunikasi. Sejumlah persoalan misalkan transisi
menuju demokrasi, konflik politik, pemikiran keagamaan, dan sebagainya.
Demikian pula konsumerisme.
Misalkan menjadi penting untuk
mengembangkan kajian komunikasi antar personal, terutama untuk kepentingan
masalah komunikasi keluarga, resolusi konflik, komunikasi organisasi, dan
sebagainya. Demikian juga komunikasi dalam dunia pendidikan, yang sangat kental
dengan pendekatan komunikasi antar personal.
Untuk mendekatkan kajian komunikasi untuk
kasus-kasus Indonesia menjadi penting untuk memberi apresiasi terhadap
karya-karya ilmu sosial yang sudah ada seperti Sartono Kartodirjo, Kuntowijoyo,
Kuncaraningrat, dan sebagainya. Upaya untuk mencari
landasan untuk konsep komunikasi Indonesia. Juga tradisi kajian tentang
Indonesia yang dikerjakan dalam tradisi kolonial baik oleh pejabat kolonial
maupun orientalis. Hal ini sebagai pertimbangan mengenai tradisi kajian
komunikasi khas Indonesia.